BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tinjauan ekologis terhadap Administrasi Negara pada waktu akhir-akhir ini mulai mendapat perhatian dari kalangan ilmuan dan praktis yang bergerak di bidang politik, pemerintahan dan Administrasi Negara. Hal ini disebabkan oleh timbulnya kesadaran bahwa tidak tepat untuk memindahkan begitu saja pranata-pranata dan sisrem politik, pemerintah dan Administrasi Negara dari lingkungan masyarakat dengan kebudayaan tertentu ke lingkungan masyarakat dengan kebudayaan yang lain.
Fungsi politik merupakan usaha-usaha peremusan khendak/kemauan dari pada Negara (the formulation of the will of the state). Dengan demikian politik itu bersangkut paut dengan Negara dan dengan sendirinya juga bersangkut paut dengan pemerintahan dan kekuasaan. Sebaliknya dengan fungsi, Administrasi Negara merupakan usaha-usaha melaksanakaan khendak dari pada Negara (the execution of the will of the state).
1.2 Rumusan Masalah
Membahas tentang pengaruh politik terhadap Administrasi Negara dan pengaruh Administrasi Negara terhadap politik.
1.3 Tujuan Masalah
Mengetahui perbedaan tentang pengaruh politik terhadap Administrasi Negara dan pengaruh Administrasi Negara terhadap politik.
BAB II
ISI
1.1 Pengaruh Sistem Politik Terhadap Administrasi Negara
Politik dan administrasi negara sangatlah erat berkaitan, ini dibuktikan dengan politik merupakan pangkal tolak administrasi negara dan administrasi negara adalah merupakan kelanjutan dari proses politik. Menurut Woodrow Wilson (1974), administrasi adalah kelanjutan dari sebuah kebijakan artinya administrasi berjalan ketika sebuah kebijakan yang dihasilkan dari proses politik itu terjaga kestabilannya. Mempelajari negara dan pemerintahannya berarti mempelajari kekuatan dan kekuasaan dan hal tersebut merupakan salah satu dari tujuan atau orientasi dari kontestasi politik yakni kekuasaan.
Ketika meninjau pengaruh politik terhadap administrasi negara, suatu hal yang perlu untuk diperhatikan adalah sistem politik. Sistem politik adalah sistem pola hubungan kekuasaan dalam pemerintahan dan hubungan kekuasaan pemerintah dengan konstituennya (yakni rakyat). Sistem politik mencakup hubungan pengemban kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bagaimana pola hubungan pemerintah dengan wakil-wakil rakyat diparlemen, bagaimana rakyat diorganisir untuk dapat mengefektifkan kekuasaan (kepartaian).
Administrasi negara yang memberikan sebuah pelayanan yang prima kepada publik itu dicapai ketika terjadinya kestabilan politik disuatu negara. Administrasi negara yang dijalankan oleh para birokrat, sangatlah dipengaruhi ketika terjadinya gesekan-gesekan kepentingan politis yang melingkupi pemerintahan yang secara tidak langsung berimplikasi dengan stagnannya agenda formulasi kebijakan yang telah direncanakan. Agenda kebijakan merupakan rumusan dari berbagai janji politik pasangan calon presiden dan wakil presiden ketika kampanye sekaligus merupakan agregasi dari kepentingan elit partai pendukung mereka ketika kampanye dulu. ketika pemerintah tidak mampu meredam berbagai pertentangan sekaligus tarik-menarik kepentingan dalam agenda kebijakan yang telah disusunnya dan mengelaborasi berbagai perbedaan tersebut menjadi suatu hal yang sinergis, maka akibatnya adalah terjadinya stagnasi agenda kebijakan.
Sebuah misi guna menciptakan sebuah proses menuju sebuah good governance yang mengikutsertakan peran partisipasi politik masyarakat secara aktif hanya tinggal mimpi yang meninggalkan luka yang cukup dilematis.
Sejarah pengaruh sistem politik terhadap administrasi Negara
Sistem politik pemerintah era orde lama pra dekrit presiden, sangatlah tergantung kepada dukungan parlemen karena sistem parlementer yang diusung pemerintah ketika itu yang secara aklamasi menciptakan kekuatan parlemen yang sangat luas. Di indonesia ketika itu seperti sekarang ini mengusung sistem multi partai sehingga tidak ada satu partai-pun yang menjadi partai dominan atau mayoritas yang mampu membentuk pemerintahan tanpa kerja sama atau koalisi dengan partai-partai lain.
Akibatnya pemerintah dalam pembentukan kabinet guna merealisasikan program kerja pemerintah, selalu dilandasi dengan kerja sama atau koalisi dari beberapa partai yang diikuti oleh pembagian “kue” yakni jatah kursi menteri-menteri yang akan memimpin departemen.
Ketika partai telah memperoleh pembagian jatah kursi menteri, maka kemudian yang terjadi adalah departemen-departemen tersebut seolah menjadi milik partai dan jabatan-jabatan strategis dilingkungan departemen tersebut pastilah diisi oleh orang-orang partai asal si menteri. Dalam keadaan yang demikian ekstrim, pengisian tersebut kadang-kadang mengabaikan norma kepegawaian yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Akibat lanjutnya adalah staff kementrian tersebut kurang mampu, penempatan pegawai tidak tepat sehingga administrasi negara tidak berjalan dengan efektif.
Oleh karena kedudukan menteri sangatlah erat dengan konstelasi politik antar partai pengusung kekuasaan dan juga bargaining politik antar elit partai, maka seorang menteri bisa saja berhenti ketika partainya tidak mampu menempatkan dirinya sesuai sebagaimana seharusnya dilingkaran kekuasaan. Untuk itulah, partai politk era orde lama begitu menjadi “impotent” ketika melihat tampuk kekuasaan itu mengelilingi diri seorang Soekarno. Untuk itu elit partai ketika itu apabila ingin “langgeng” kekuasaannya, harus tetap selalu berada dilingkaran seputaran kekuasaan Soekarno walaupun itu menanggalkan prinsip-prinsip kepartai-an itu sendiri.
Pada aspek kelembagaan terjadi perkembangan yang paradoks. Oleh karena administrasi negara ada dibawah pimpinan pejabat-pejabat partai politik yang berorientasi kepada partai politik tertentu, maka sering terjadi pembentukan suatu badan/lembaga tertentu baru atau unit-unit baru dalam suatu kementrian, Walaupun secara terselubung dilatar belakangi kepentingan untuk menempatkan orang-orang partai pada jabatan-jabatan dalam badan/lembaga yang baru terbentuk. Lambat laun terciptanya struktur organisasi administrasi yang tidak efisien akibat adanya suatu organisasi yang tidak jelas tugas dan fungsinya dan juga tumpang tindih arah kerja ketika beberapa organisasi mempunyai tugas dan fungsi yang sama, birokrasi berlebih-lebihan yang menghambat proses kerja dan abuse of power.
Ketika Era orde baru, mulailah diambil langkah-langkah guna membenahi sistem administrasi di negara ini yakni salah satunya dengan jalan mengurangi pengaruh pertai-partai politik (asas tunggal maupun fusi parpol) dan juga dalam jajaran kabinet dibentuk porsi khusus guna membenahi aparatur negara (dalam hal ini birokratnya) yaitu menteri negara pemberdayaan aparatur negara yang dilantik tanggal 10 juni 1968. selain itu, diambil langkah-langkah positif pula yakni fungsionalisasi, restrukturisasi dan penempatan yang proporsional. Birokratisasi yang sesuai dengan perkembangan keadaan (kaidah max weber akan potensi hierarkis birokrasi tersebut untuk mengefisienkan kerja organisasi) sehingga ada kejelasan organisasi maupun pola kerjanya.
Disamping itu adanya perbaikan kompensasi pegawai mendapat perhatian khusus dari pemerintah dengan memberi kenaikan gaji beberapa kali lipat. Guna meningkatkan pelayanan publik, para aparatur negara yang memberikan pelayanan tersebut juga haruslah makmur atau sejahtera hidupnya. Analisa pemerintah dengan dinaikkannya tingkat kesejahteraan pegawai pemerintah, maka akan memperkecil adanya kesempatan untuk melakukan tindak korupsi atau penyalahgunaan wewenang akibat keterpurukkan taraf hidup ekonomi para aparat pemerintah. Pemerintah merencanakan dengan sebuah kesinergisan dan keharmonisan antar pelaku maupun objek kebijakan maka suatu pelayanan publik yang prima itu akan terealisasikan.
Namun ironisnya yang terjadi kemudian, terjadinya egaliterisme pemerintahan. Pemerintah orde baru yang pada awalnya begitu eksoistik, lama kelamaan memperlihatkan kerapuhan organisasinya. Sentralisasi yang berlebihan mengakibatkan terpusatnya segala kebijakan tanpa mempertimbangkan aspek budaya lokal dalam pemutusan kebijakannya. Pemerintah orde baru ketika itu melakukan “pukul rata” dalam memutuskan undang-undang peraturan tanpa mengindahkan apakah daerah tersebut sesuai dengan arah kebijakan tersebut karena perlu diperhatikan, indonesia adalah sebuah bangsa dan negara yang majemuk, daerah yang satu dengan yang lainnya itu sangat berbeda baik dari segi kultur budaya maupun kemampuan ekonominya. Korupsi yang terjadi akhirnya dilingkaran seputar kekuasaan, yang diakibatkan akumulasi kapital yang berlebihan pada sebagian konglomerat yang awalnya diharapkan menjadi faktor potensial penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Perlu diperhatikan,awalnya Soeharto melihat dengan menumpukkan kapital di salah satu konglomerat maka efek Feedbacknya akan terciptanya “rembesan ke bawah” -kalau merujuk Woodrow Wilson- para konglomerat tersebut akhirnya akan membuka faktor produksi yakni perusahaan yang pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja dilingkungan perusahaan tersebut.
Selain itu, budaya militer pun mempengaruhi disfungsi birokrasi Politik militer yang tanpa tanding (oposisi) mengakibatkan pemerintah kehilangan kontrol, pemerintah merasa segala tindak lakunya tidak akan ada penghalangnya. Ini berakibat dengan dekonsistensi organisasi, banyaknya para pejabat yang korup yang pada akhirnya budaya korupsi pun tercipta dikarenakan tidak adanya pengetatan hukum ketika itu. Arah dari pemerintah ketka itu ialah pembangunan ekonomi, sedangkan ironisnya hukum yang seharusnya menjadi partner dari pelaksanaan kebijakan tersebut diabaikan. Rentetan kerapuhan birorasi indonesia yang seharusnya berorientasi kepada pelayanan publik, dikarenakan budaya matrealismenya berubah 1800 menjadi oriented profit sehingga birokrasi menjadi dipersulit apabila bagi kaum subaltern yang tak bermateri. Lambat laun hal inilah yang akhirnya menyebabkan tingkat birokrasi kita semakin tidak tentu arahnya.
birokrasi di Indonesia adalah sebuah system birokrasi 3 generasi perubahan yakni warisan birokrasi zaman kolonial penjajahan (birokrasi warisan belanda), system birokrasi warisan orde lama, dan terakhir system birokrasi warisan orde baru. Ketiga system birokrasi tersebut kemudian saling bertransformasi menjadi budaya birokrasi seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Budaya birokrasi yang paling kentara pengaruhnya yakni budaya birokrasi era orde baru yang mengusung paradigma “birokrasi untuk dilayani”. Paradigma birokrasi yang seharusnya melayani kepentingan publik ketika orde baru malah sebaliknya, publik secara sukarela selalu saja harus menanggung kewajiban tanpa dibarengi akan haknya sebagai warga negara. “Warga negara yang baik haruslah taat menaati segala peraturan pemerintah”, itulah jargon yang selalu di dengung-dengungkan pemerintah era orde baru. Masyarakat secara masif diharuskan membayar segala jenis pajak, retribusi dan lainnya tanpa dibarengi peningkatan kualitas pelayanan yang prima bagi mereka.
Budaya birokrasi yang ingin dilayani secara tidak sadar malah membuat para aparatur birokratnya membudayakan birokrasi yang omnipotent, yaitu budaya birokrasi yang mandul.
Pengaruh politik terhadap administarsi negara dewasa ini
Dalam era desentralisasi maupun otonomi daerah seperti sekarang ini, tentulah sangat lebih kompleks lagi apabila menelaah pengaruh politik terhadap administrasi kebijakan di daerah yang antar daerah berbeda dalam variabel-variabel pengaruh yang ditimbulkannya. Namun secara garis besar dapat ditarik benang merah dari pengaruh-pengaruh aspek politis tersebut terhadap administrasi kebijakannya.
Seorang Jorge Lowell pernah berujar dalam bukunya “Reformation birokrasi in globalitation era” (2001) bahwa kesalahan terbesar bagi sakitnya birokrasi adalah kepada disfungsi systemnya. Ia berujar bahwa systemlah yang akan meregulasi para aparatur birokrasi menjadi lebih efektif. Ia kembali berujar bahwa system mempunyai variabel-variabel terluas bagi kepentingan sebuah keefektifan organisasi. Dalam ruang lingkup system ia menambahkan, adanya banyak ekses-ekses yang sangat urgens guna memulihkan suatu birokrasi yang sakit adalah dengan reformasi atau ruitalisasi terhadap systemnya.
Ketika kita bandingkan dengan keadaan birokrasi di Indonesia jelas terdapat hal-hal yang berbeda akan sebuah systemnya. Seorang Woodrow Wilson pernah berujar akan keheranannya terhadap system birokrasi yang dipengaruhi akan system atau konfigurasi politik. Ia menambahkan bahwa system politik yang termanifestasi lewat pemilu mempunyai efek domino terbesar akan sakitnya birokrasi di Indonesia. Pada dasarnya dari penjelasannya, ia berpendapat dosa terbesar bagi sakitnya birokrasi kita ialah pada systemnya. Menurut ia “When the processing of politic is finish, the birokration is begin”, artinya birokrasi itu di mulai ketika proses politik yakni pemilu itu telah selesai birokrasi berjalan. Administrasi Negara adalah kelanjutan dari proses politik namun bukan bagian dari proses politik praktis. Adanya birokrasi hanyalah sebatas pelaksanaan administrasi proses politik, Artinya, administrasi Negara itu ada untuk menciptakan ketertiban proses politik, namun tidak di infiltrasi oleh proses (hasil) politik.
Dalam proses politik di negara Indonesia, cenderung meninggalkan kuka-luka yang cukup menyebabkan kita kembali sakit. Proses politik di Indonesia kadang tidak terselesaikan setelah proses pemilu. Secara konkret kita melihat bahwa ada ekses-ekses lain yang terjadi setelah pemilu. Perang kepentingan masih terjadi setelah pemilu yang parahnya malah membuat para aparatur birokratnya menjadi kehilangan kenetralitasannya padahal dalam aspek tata perilaku seorang birokrat ialah ia harus netral atau sebagai stabilisator konflik. Contoh realnya ialah terjadi di Banten ketika ada mutasi besar-besaran terhadap beberapa pejabat eselon II yang pada akhirnya "non job" yang menurut kebanyakan pengamat adalah merupakan implikasi semakin dekatnya ajang pilkadal di tahun 2006 ketika itu
Dari contoh kasus diatas, dapat ditarik sebuah benang merahnya yaitu jalannya sebuah administrasi kebijakan negara yang baik itu itu diawali dengan pra kondisi kestabilan politik. Tanpa sebuah kestabilan politik tentu saja sebuah keniscayaan administrasi negara yang handal, efisien dan menghasilkan output yang prima hanya menjadi mimpi-mimpi belaka yang tak akan pernah usai. Politik dan administrasi adalah dua rangkai mechanism yang seharusnya saling mendamaikan. Administrasi Negara ada untuk mentertibkan proses politik, sedangkan hasil proses politik sudah seharusnya mendewasakan aparatur birokrasi di negeri ini. Terdapat garis demarkasi yang jelas antar keduanya, agar relasi pengaruh keduanya adalah positif bukan malah bersifat korosif.
1.2 Pengaruh Administrasi Negara Terhadap Sistem Politik
Pengaruh administrasi Negara terhadap system politik dapat ditelurusi bertitik tolak pada maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang berisi anjuran Pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik. Partai-partai politik yang secara resmi berdiri setelah maklumat tersebut ialah : Masyumi, PKI, PBI (Persatuan Buruh Indonesia), Partai Rakyat Jelata, Parkindo, PSI, Partai Rakyat Sosialis, Partai Katolik, Permai (Partai Rakyat Marhaen Indonesia) dan PNI. Dalam prkembangan selanjutnya jumlah partai tersebut bertambah baik karena berdirinya partai baru maupun karena pecahnya partai-partai yang telah ada. Sampai akhirnya pada Pemilihan Umum tahun 1955 jumlah tersebut mencapai jumlah lebih dari 27 partai. Setelah DPR terbentuk yang terdiri dari wakil-wakil partai politik yang demikian banyak jumlahnya maka dibentuklah fraksi-fraksi yang jumlahnya disederhanakan menjadi 19, karena ada penggabungan wakil-wakil beberapa partai kecil kedalam satu fraksi.31) Dengan system kepartaian yang demikian itu oleh Pemerintah dirasakan kurang dapat menjamin kesatuan dan persatuan Nasional dalam Rangka mengejar cita-cita bangsa. Berdasarkan Penetapan President No.7 tahun 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian, sehingga hasilnya jumlah partai-partai berkurang, walaupun jumlahnya masih cukup banyak yaitu 10 partai. Pada perekembangan selanjutnya dalam percaturan politik muncullah golongan-golongan fungsional (buruh, tani, dan lain-lainnya) yang kemudian membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya. Dalam rangka pemurnian wakil-wakil golongan fungsional dalam DPRD yang berafiliasi dengan partai-partai tertentu diberhentikan dan digantikan oleh mereka yang tidak berafiliasi dengan partai tertentu.
Dengan partai politik yang sekian banyaknya dirasakan masih belum dapat menjamin kesatuan dan persatuan nasional terutama dalam menunjang usaha-usaha pembangunan. Maka oleh Administrasi Negara dilakukan usaha-usaha selanjutnya untuk menyederhanakan jumlah partai-partai. Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam maka disetujui oleh administrasi Negara, bahwa akan dilakukan fusi antara partai-partai yang berdasar islam kedalam satu partai, demikian pula sisa partai lainnya juga akan berfusi ke dalam satu sehingga terdapat dua partai dan Golongan Politik dan Golongan Karya. Kedua Parpol tersebut ialah Partai Persatuan Pembangunan (P3) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian tercapailah suatu system politik seperti sekarang yang diwujudkan karena pengaruh dari administrasi Negara, jajaran Departemen Dalam Negeri.
Agar supaya system kepartaian dapat berlangsung maka Pemerintah melalui administrasi Negaranya melakukan pembinaan, antara lain : dengan memberikan bantuan keuangan dan sarana-sarana lainnya agar pengurus dapat menjalankan “roda” partai, memberikan bantuan bantuan jasa-jasa baik mengatasi masalah-masalah intern partai-partai yang lain dan sebagainya. System politik yang demikian ini kiranya lebih cocok dengan ideology Nasional Pancasila yang berpangkal tolak dari paham kekeluargaan dan gotong royong. Dengan tiga kekuatan social politik lebih memperlihatkan paham kekeluargaan dan gotong royong dibandingkan dengan 10 apalagi lebih dari 25 kekuatan social politik.
BAB III
PENUTUP
• Kesimpulan
Dengan demikian politik itu bersangkut paut dengan Negara dan dengan sendirinya juga bersangkut paut dengan pemerintahan dan kekuasaan. Sebaliknya dengan fungsi, Administrasi Negara merupakan usaha-usaha melaksanakaan khendak dari pada Negara (the execution of the will of the state). Jadi dengan demikian bahwa sistem politik dan administrasi Negara sangat erat berkaitan. Politik merupakan pangkal tolak Administrasi Negara dan Administrasi Negara merupakan kelanjutan dari politik.
DAFTAR PUSTAKA
- Leo Agustino. 2006. Politik dan Kebijakan Publik. AIPI Bandung & KP2W Lemlit
- Unpad- Jorge Lowell. 2001. Birokration Reform in globalitation era. Ford Foundation
- Pamudji, “ Ekologi Administrasi Negara”, Bina Aksara.
Senin, 10 Januari 2011
Tanggung jawab Ilmuwan terhadap alam dan lingkungan
Ilmuwan merupakan sosok manusia yang diberikan kelebihan oleh Tuhan dalam menguasai sebuah ilmu pengetahuan. Dari kelebihannya ini maka Tuhan mengangkat harkat dan martabat ilmuan tersebut di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan Negara sehingga mereka disanjung dan dihormati serta menjadi sumber solusi dari situasi-dan kondisi lingkungan hidup manusia.
Karena ilmuwan tersebut telah diberi penghargaan oleh Tuhan maka peanaghargaan tersebut membawasa kedalam posisi yang tinggi disbanding dengan manusia yang lain. Dialah menjadi wakil Tuhan di bumi untuk menjadikan lingkungan hidup manusia terpelihara dan membawa kebaikan kepada manusia itu sendiri. Dengan demikian dapta diartikan bahwa ilmuan dijadikan Tuhan sebagai pemimmpin kelangsungan lingkungan hidup manusia di muka bumi ini.
Isu Ekologi (lingkungan hidup) adalah salah satu isu global diantara HAM. Demokrasi, yang semakin kencang dengungannya. Menurut Prof. Sayed Hosein Nasr dalam makalahnya Islam environmental crisis, krisis lingkungan dewasa ini tidak hanya terdapat dalam negara-negara maju yang notabene sebagai pelopor industrialisasi, tapi juga pada Negara-negara Islam. Bias disebut, polusi di Qairo dan Teheran, erosi pada perbukitan di Yaman, hingga penggundulan hutan besar-besaran di Malaysia dan Banglades (juga Indonesia). Bagi Nasr krisis lingkungan hidup sekarang ini tidak bisa dibedakan lagi antara dunia islam dan non Islam.
Hal ini ditarik kesimpulan dari logika sederhana, pasti akan diperoleh jawaban bahwa konsep Islam dan Barat (pelopor industrialisasi tanpa memperdulikan lingkunga) tentang alam tidaklah berbeda. Karena dalam dunia Islam juga terjadi pengrusakan alam seperti yang terjadi di Barat. Padahal kalau kita teliti lebih dalam ada perbedaan esensial antara Barat dan Islam dalam memandang alam ini yang membuat umat Islam menjadi tidak islami dalam berbuat dan memberlakukan alam ini, meskipun demikian, Islam tetap hidup sebagai dorongan religius dan spiritual yang kuat. Dan pandangannya tentang alam dan lingkungan hidup masih tetap terhujam dalam pikiran dan jiwa umatnya. Adanya perjuangan umat Islam yang satu perlima penduduk dunia adalah merealisasikan pandangan Islam tersebut agar membumi, dengan begitu keselarasan lingkungan hidup dapat dirasakan.
Kesenjangan antara cita Islam dan fakta perbuatan kaum muslimin dalam masalah lingkungan harus segera dihapuskan sehingga pada akhirnya, menjadi muslim sekaligus pendekar lingkungan hidup.
Memelihara Lingkungan
Krisis ingkungan ldari sudut teologis (metafisik) bukanlah hanya persoalan politik dan ekonomi belaka. Namum ada persoalan mendasar yang berhubungan dengan keyakinan yang menjadi dasar tindakan dan prilaku seseorang. Krisis lingkungan yang sekarang menjadi problem serius manusia pertama kali disulut oleh modernisasi (era Industrialisasi) Yang terjadi di Barat. Sedangkanm dunia timur hanya mengekor jalan yang telah dilaluai Barat, meski sebenarnya jalan itu telah bertentangan dengan pandangan filsafat mereka sendiri.
Modernisasi Barat yang membuahkan konsumerisme, individualisme, hedonisme, adalah kelanjutan dari filsafat materialisme yang mendasari bangunan peradabannya. Dalam filsafat materialisme barat menempatkan esensi segala sesuatu hanyalah pada materi semata : eksistensi manusia, tujuan hidupnya tidak lebih hanya materi saja. tidak ada tempat lagi bagi nilai dan sesuatu yang transendental dalam bangunan pemikiran dan peradaban yang dijungjung barat. Hidup di dunia ini adalah senyatanya, dan tidak ada kehidupan lain selain dunia ini. Bahkan selogan “Tuhan telah mati”adalah jargon resmi barat mengawali modernisasi peradabannya. Akibat lanjut dari filsafat materialisme di atas adalah pandangannya tentang manusia yang sangat ekstrim. Manusia adalah penguasa tunggal (yang bebas, merdeka) di alam ini. Manusia tidak akan mempertanggungjawabkan pekerjaannya selain pada dirinya sendiri karena tuhan telah mati. Bagi mereka Tuhan adalah mitos yang hanya menakut-nakuti pikiran manusia untuk berbuat bebas di alam ini. Juga dengan pandangannya bahwa kehidupan hanya ada di dunia ini, membuat obsesi dan cita-cita mereka hanya sebatas menikmati kelezatan materi yang ada di dunia. Maka terjadilah peradaban barat yang memobilisasi masa untuk berebut kenikmatan duniawi tanpa mempedulikan nilai-nilai transendental. Gaya hidup hedonisme, konsumerisme, individualisme adalah anak sah dari pandangan hidup seperti di atas. Dari sinilah akar terjadinya ekploitasi alam secara besar-besaran tanpa mesti memperhatikan keseimbangan dan keselarasannaya. Terjadi kolonialisme yang dengan pongahnya menghabisi sumber-sumber alam Negara jajahannya merupakan bukti nyata keserakahan manusia yang dimasuki pandangan materilaisme.
Bagi Prof Sayyed Hossen Nasr, dengan pandangan barat bahwa manusia sebagai pengusaha tunggal (tanpa kehadiran Tuhan) telah menjadikan manusia sewenang-wenang dalam memperlakukan alam bagi seorang pelacur yang terus dieksploitir tanpa memberikan imbalan yang layak.keserakahan dan kerakusan Barat telah menghancurkan keseimbangan dan keselarasan alam. Hal di atas sangat berbeda dengan pandangan Islam tentang alam . Bagi Prof , Fazrur Rahman membicarakan alam dalam konsep Islam tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang Tuhan dan manusia. Membahas salah satunya pasti akan menyeret tema lainnya dalam pembicaraannya. Dalam Islam Tuhan (baca: Allah SWT) adalah pemilik tunggal alam semesta, dimana manusia termasuk didalamnya. Namun begitu manusia mempunyai kedudukan yang sangat unik dan khas dibandingkan makhluk-makhluk Allah lainnya.
Manusia diberi akal pikiran dan nafsu, dimana tidak diberikan pada makhluk lainnya. Dengan bekal akal pikiran itulah Allah memberikan mandat sebagai khalifah di bumi agar mengurusi (mempergunakan dan memeliharanya) alam mini sebaik baiknya sebagai mana temaktub dalam Al-Quran pada (Qs: 2:30; Qs:7:129; Qs:27:62; Qs:35:39; Qs:38:26). Kewenangan manusia untuk mempergunakan alam bukanlah hak mutlaknya tapi merupakan hak yang telah direkomendasikan oleh Allah SWT. Dan suatu saat akan diminta pertanggungjawaban oleh pemilik sejatinya. Oleh karenanya manusia berkewajiban memelihara keseimbangan dan keselarasan alam agar tidak rusak seperti pertama kali Allah meminjamkan pada manusia. Sebagai mana termaktub dalam Qs. Al-Qhashash (28) ayat 77 (“dan carilah pada apa yang Allah karuniakan kepada kamu negeri akhirat, tetapi janganlah engkau melupakan nasibmu di dunia ini. Berbuatlah kebaikan sebagai mana Allah telah berbuat kebaikan kepada kamu; dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”).
Sebagai khalifah di bumi manusia sekaligus sebagai hamba Allah yang berkewajiban untuk beribadah kepada-Nya dengan menjalankan ajaran-ajaran yang telah diturunkan kepada umat manusia.Untuk dapat beribadah dengan khusu dan istiqamah (mantap dalam keimanan) manusia harus lebih mengenal dan memahami Khaliknya. Dalam rangka mengenal dan memahami Allah itulah alam semesta digunakan sebagai media untuk memngerti dan memahami rahasia Allah. Dzat yang mutlak. Tentu bersama-sama dengan mengkaji dan memahami ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Perpaduan anatara ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat Al-qur’an akan memmberikan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Jadi dalam pandangan Islam alam semesta mempunyai dua fungsi; pertama, untuk memenuhi kebutuhan manusia agar bisa beribadah kepada Allah. Kedua, sebagai media untuk memahami kekuasaan, kebesaran, dan keluasan dzat Allah.
Dengan dua peranan alam bagi manusia menurut konsep Islam inilah tindakan eksploitasi alam secara brutal yang mengesampingkan keselarasan dan keseimbangannya tidak bisa ditolerir ajaran Islam, dan krisis lingkungan yang melanda dunia saat ini merupakan persoalan besar dalam memahami perannan manusia sebagai khalifah sekaligus hamba Allah di bumi. Manusia telah menjadikan dirinya sebagai raja yang mempunyai kekuasaan mutlak atas semesta. Dan meniadakan pertanggungjawabannya nanti dihadapan Allah atas tindakannya terhadap alam semesta.
Bagi seorang muslim menyelamatkan lingkungan hidup adalah merupakan perintah agamanya, tidak hanya sekedar mencari legitimasi agama atas isu-isu lingkungan hidup yang semakin keras dendangnya. Karena dengan lingkungan yang sehatlah seorang muslim dapat melangsunglkan ibadah dan menjadikan alam sebagai media mengenal dan memahami Allah, disamping kitab suci.
Daftar Pustaka
Prof. Dr. Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Pustaka Bandung,1986
Frithjof Schuon, Islam Filsafat Ferenial, Mizan, 1998
Prof.Dr. Harun Nasution, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta,1989
Dr. K. Betem Filsafat Barat Abad XX, I dan II, Gramedia, Jakarta
Sukmadjaja Asyarie , Rosy Yusuf, Indek Alqur’an cet IV. Pustaka Bandung 2000
Karena ilmuwan tersebut telah diberi penghargaan oleh Tuhan maka peanaghargaan tersebut membawasa kedalam posisi yang tinggi disbanding dengan manusia yang lain. Dialah menjadi wakil Tuhan di bumi untuk menjadikan lingkungan hidup manusia terpelihara dan membawa kebaikan kepada manusia itu sendiri. Dengan demikian dapta diartikan bahwa ilmuan dijadikan Tuhan sebagai pemimmpin kelangsungan lingkungan hidup manusia di muka bumi ini.
Isu Ekologi (lingkungan hidup) adalah salah satu isu global diantara HAM. Demokrasi, yang semakin kencang dengungannya. Menurut Prof. Sayed Hosein Nasr dalam makalahnya Islam environmental crisis, krisis lingkungan dewasa ini tidak hanya terdapat dalam negara-negara maju yang notabene sebagai pelopor industrialisasi, tapi juga pada Negara-negara Islam. Bias disebut, polusi di Qairo dan Teheran, erosi pada perbukitan di Yaman, hingga penggundulan hutan besar-besaran di Malaysia dan Banglades (juga Indonesia). Bagi Nasr krisis lingkungan hidup sekarang ini tidak bisa dibedakan lagi antara dunia islam dan non Islam.
Hal ini ditarik kesimpulan dari logika sederhana, pasti akan diperoleh jawaban bahwa konsep Islam dan Barat (pelopor industrialisasi tanpa memperdulikan lingkunga) tentang alam tidaklah berbeda. Karena dalam dunia Islam juga terjadi pengrusakan alam seperti yang terjadi di Barat. Padahal kalau kita teliti lebih dalam ada perbedaan esensial antara Barat dan Islam dalam memandang alam ini yang membuat umat Islam menjadi tidak islami dalam berbuat dan memberlakukan alam ini, meskipun demikian, Islam tetap hidup sebagai dorongan religius dan spiritual yang kuat. Dan pandangannya tentang alam dan lingkungan hidup masih tetap terhujam dalam pikiran dan jiwa umatnya. Adanya perjuangan umat Islam yang satu perlima penduduk dunia adalah merealisasikan pandangan Islam tersebut agar membumi, dengan begitu keselarasan lingkungan hidup dapat dirasakan.
Kesenjangan antara cita Islam dan fakta perbuatan kaum muslimin dalam masalah lingkungan harus segera dihapuskan sehingga pada akhirnya, menjadi muslim sekaligus pendekar lingkungan hidup.
Memelihara Lingkungan
Krisis ingkungan ldari sudut teologis (metafisik) bukanlah hanya persoalan politik dan ekonomi belaka. Namum ada persoalan mendasar yang berhubungan dengan keyakinan yang menjadi dasar tindakan dan prilaku seseorang. Krisis lingkungan yang sekarang menjadi problem serius manusia pertama kali disulut oleh modernisasi (era Industrialisasi) Yang terjadi di Barat. Sedangkanm dunia timur hanya mengekor jalan yang telah dilaluai Barat, meski sebenarnya jalan itu telah bertentangan dengan pandangan filsafat mereka sendiri.
Modernisasi Barat yang membuahkan konsumerisme, individualisme, hedonisme, adalah kelanjutan dari filsafat materialisme yang mendasari bangunan peradabannya. Dalam filsafat materialisme barat menempatkan esensi segala sesuatu hanyalah pada materi semata : eksistensi manusia, tujuan hidupnya tidak lebih hanya materi saja. tidak ada tempat lagi bagi nilai dan sesuatu yang transendental dalam bangunan pemikiran dan peradaban yang dijungjung barat. Hidup di dunia ini adalah senyatanya, dan tidak ada kehidupan lain selain dunia ini. Bahkan selogan “Tuhan telah mati”adalah jargon resmi barat mengawali modernisasi peradabannya. Akibat lanjut dari filsafat materialisme di atas adalah pandangannya tentang manusia yang sangat ekstrim. Manusia adalah penguasa tunggal (yang bebas, merdeka) di alam ini. Manusia tidak akan mempertanggungjawabkan pekerjaannya selain pada dirinya sendiri karena tuhan telah mati. Bagi mereka Tuhan adalah mitos yang hanya menakut-nakuti pikiran manusia untuk berbuat bebas di alam ini. Juga dengan pandangannya bahwa kehidupan hanya ada di dunia ini, membuat obsesi dan cita-cita mereka hanya sebatas menikmati kelezatan materi yang ada di dunia. Maka terjadilah peradaban barat yang memobilisasi masa untuk berebut kenikmatan duniawi tanpa mempedulikan nilai-nilai transendental. Gaya hidup hedonisme, konsumerisme, individualisme adalah anak sah dari pandangan hidup seperti di atas. Dari sinilah akar terjadinya ekploitasi alam secara besar-besaran tanpa mesti memperhatikan keseimbangan dan keselarasannaya. Terjadi kolonialisme yang dengan pongahnya menghabisi sumber-sumber alam Negara jajahannya merupakan bukti nyata keserakahan manusia yang dimasuki pandangan materilaisme.
Bagi Prof Sayyed Hossen Nasr, dengan pandangan barat bahwa manusia sebagai pengusaha tunggal (tanpa kehadiran Tuhan) telah menjadikan manusia sewenang-wenang dalam memperlakukan alam bagi seorang pelacur yang terus dieksploitir tanpa memberikan imbalan yang layak.keserakahan dan kerakusan Barat telah menghancurkan keseimbangan dan keselarasan alam. Hal di atas sangat berbeda dengan pandangan Islam tentang alam . Bagi Prof , Fazrur Rahman membicarakan alam dalam konsep Islam tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang Tuhan dan manusia. Membahas salah satunya pasti akan menyeret tema lainnya dalam pembicaraannya. Dalam Islam Tuhan (baca: Allah SWT) adalah pemilik tunggal alam semesta, dimana manusia termasuk didalamnya. Namun begitu manusia mempunyai kedudukan yang sangat unik dan khas dibandingkan makhluk-makhluk Allah lainnya.
Manusia diberi akal pikiran dan nafsu, dimana tidak diberikan pada makhluk lainnya. Dengan bekal akal pikiran itulah Allah memberikan mandat sebagai khalifah di bumi agar mengurusi (mempergunakan dan memeliharanya) alam mini sebaik baiknya sebagai mana temaktub dalam Al-Quran pada (Qs: 2:30; Qs:7:129; Qs:27:62; Qs:35:39; Qs:38:26). Kewenangan manusia untuk mempergunakan alam bukanlah hak mutlaknya tapi merupakan hak yang telah direkomendasikan oleh Allah SWT. Dan suatu saat akan diminta pertanggungjawaban oleh pemilik sejatinya. Oleh karenanya manusia berkewajiban memelihara keseimbangan dan keselarasan alam agar tidak rusak seperti pertama kali Allah meminjamkan pada manusia. Sebagai mana termaktub dalam Qs. Al-Qhashash (28) ayat 77 (“dan carilah pada apa yang Allah karuniakan kepada kamu negeri akhirat, tetapi janganlah engkau melupakan nasibmu di dunia ini. Berbuatlah kebaikan sebagai mana Allah telah berbuat kebaikan kepada kamu; dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”).
Sebagai khalifah di bumi manusia sekaligus sebagai hamba Allah yang berkewajiban untuk beribadah kepada-Nya dengan menjalankan ajaran-ajaran yang telah diturunkan kepada umat manusia.Untuk dapat beribadah dengan khusu dan istiqamah (mantap dalam keimanan) manusia harus lebih mengenal dan memahami Khaliknya. Dalam rangka mengenal dan memahami Allah itulah alam semesta digunakan sebagai media untuk memngerti dan memahami rahasia Allah. Dzat yang mutlak. Tentu bersama-sama dengan mengkaji dan memahami ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Perpaduan anatara ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat Al-qur’an akan memmberikan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Jadi dalam pandangan Islam alam semesta mempunyai dua fungsi; pertama, untuk memenuhi kebutuhan manusia agar bisa beribadah kepada Allah. Kedua, sebagai media untuk memahami kekuasaan, kebesaran, dan keluasan dzat Allah.
Dengan dua peranan alam bagi manusia menurut konsep Islam inilah tindakan eksploitasi alam secara brutal yang mengesampingkan keselarasan dan keseimbangannya tidak bisa ditolerir ajaran Islam, dan krisis lingkungan yang melanda dunia saat ini merupakan persoalan besar dalam memahami perannan manusia sebagai khalifah sekaligus hamba Allah di bumi. Manusia telah menjadikan dirinya sebagai raja yang mempunyai kekuasaan mutlak atas semesta. Dan meniadakan pertanggungjawabannya nanti dihadapan Allah atas tindakannya terhadap alam semesta.
Bagi seorang muslim menyelamatkan lingkungan hidup adalah merupakan perintah agamanya, tidak hanya sekedar mencari legitimasi agama atas isu-isu lingkungan hidup yang semakin keras dendangnya. Karena dengan lingkungan yang sehatlah seorang muslim dapat melangsunglkan ibadah dan menjadikan alam sebagai media mengenal dan memahami Allah, disamping kitab suci.
Daftar Pustaka
Prof. Dr. Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Pustaka Bandung,1986
Frithjof Schuon, Islam Filsafat Ferenial, Mizan, 1998
Prof.Dr. Harun Nasution, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta,1989
Dr. K. Betem Filsafat Barat Abad XX, I dan II, Gramedia, Jakarta
Sukmadjaja Asyarie , Rosy Yusuf, Indek Alqur’an cet IV. Pustaka Bandung 2000
BENTUK KEKUASAAN ORDE LAMA, ORDE LAMA, ERA REFORMASI
PENDAHULUAN
Secara konseptual, komponen-komponen pokok yang ada di dalam pembangunan politik adalah bahwa pemerintah kita harus selalu mampu menanggapi setiap perubahan yang ada dalam masyarakat, sebab suprastruktur dan infrastruktur politik yang ada memang efektif dan berfungsi secara optimal, yang kesemuanya didukung oleh warganegara yang dinamis dan berada dalam naungan persamaan hukum dan perundang-undangan. Pencapaian hal-hal tersebut biasanya selalu akan menimbulkan permasalahan yang menyangkut identitas (jati diri) bangsa, legitimasi kekuasaan, partisipasi anggota masyarakat, serta menyangkut pemerataan hasil-hasil pembangunan melalui sistem yang efektif yang menjangkau keseluruh lapisan masyarakat. Setiap kali kita berhasil mengatasi suatu permasalahan tersebut maka berarti kita “maju” di dalam melakukan pembangunan politik di dalam mengembangkan sistem demokrasi. Sejak awal Indonesia berdiri, kehidupan politik dan hukum diwarnai begitu rupa, tidak dalam pengertian hingar bingarnya demokrasi, tetapi justru secara mencolok dapat dikatakan oleh sentralisasi kekuasaan pada satu tangan, meskipun sebenarnya konstitusi telah memberi peluang yang cukup besar kepada hukum.[1]
Secara umum proses perjalanan bangsa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu, periode Orde Lama dan periode Orde Baru. Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965. Namun sejarah juga menunjukkan rezim Orde Baru yang dianggap memberikan perbaikan dan menyelamatkan keadaan bangsa saat itu selama masa pemerintahannya melakukan pemasungan terhadap hak-hak politik warga negara, pembangunan memang dapat berjalan dengan cukup baik dimana tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan pernah mencapai 7 % (tujuh persen) namun keberhasilan itu hanya bersifat semu karena semua pembangunan dibiayai dari hutang luar negeri yang berakibat timbulnya krisis moneter dan tumbuh sehatnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.[2]
PEMBAHASAN
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.[3]
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.[4]
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.
Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.
Dalam penulisan ini, kami mencoba memberikan penjelasan singkat seputar konfigurasi politik yang dibatasi pada dua era, yakni Orde Lama dan Orde Baru, serta pemahaman terhadap partai politiknya.
ORDE BARU
Latar Belakang
Diskursus mengenai lembaga-lembaga negara di Indonesia selalu menjadi bahasan yang menarik, UUD 1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terjadi selama empat dekade terakhir ini bahkan menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih berat ke lembaga eksekutif. Posisi Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya semakin mendorong kecenderungan ini ke arah yang negatif.
UUD 1945 memberikan wewenang tertentu kepada presiden dalam menjalankan tugas pemerintahan. Namun demikian pemberian wewenang tersebut tidak diikuti dengan batasan-batasan terhadap penggunaannya. Soekarno, mantan presiden RI, dalam rapat pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 adalah “UUD Kilat”, ini dikarenakan mendesaknya keinginan untuk memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu sehingga infrastruktur bagi sebuah negara yang merdeka harus segera disiapkan. Hal ini menyebabkan UUD 1945 menjadi UUD yang singkat dan sangat interpretatif. Upaya politik untuk tidak mengadakan perubahan terhadap UUD 1945, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 sendiri (Pasal 3 juncto Aturan Peralihan, butir 2), juga tidak diikuti oleh upaya lembaga legislatif untuk membuat ketentuan lebih lanjut terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Tidak banyak pasal dalam UUD 1945 yang telah diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya dan pasal-pasal yang mengatur mengenai wewenang presiden sebagai kepala negara merupakan beberapa di antaranya.
Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945, yaitu antara lain tercantum dalam Pasal 10 sampai Pasal 15. Dalam pelaksanaannya, ternyata kekuasaan tersebut telah banyak menimbulkan berbagai masalah yang sampai saat ini masih diwarnai pendapat pro dan kontra seputar penggunaannya. Hal ini dapat disebabkan karena tiga hal. Pertama, besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak diikuti dengan mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan adanya kontrol, misalnya pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan kabinet, wewenang untuk menyatakan perang, dan lain-lain. Kedua, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan sensitivitas dalam tubuh masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya presiden. Ketiga, berkaitan erat dengan yang kedua, sensitivitas ini juga didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dengan sangat cepat dengan dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan pada saat ini.
Diskusi dan kajian tentang negara di Indonesia pada umumnya didominasi oleh pendapat kuat yang beranggapan bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Kepercayaan yang tulus pada hal ideal ini mungkin yang mendasari pendapat-pendapat di atas, yang oleh para pejabat negara ini kemudian diturunkan menjadi jargon-jargon “demi kepentingan umum”, “pembangunan untuk seluruh masyarakat” dan lain sebagainya. Namun pada kenyataan di lapangan, terjadi banyak hal yang tidak membuktikan anggapan ideal tersebut. Negara yang identik dengan kekuasaan, sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, cenderung untuk korup, dalam arti menyimpangi kekuasaanya (abuse of power). Negara ternyata juga memiliki kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sendiri yang terkadang justru merugikan kepentingan umum. Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat dari terpusatnya kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi negatifnya, tampaknya mengharuskan bangsa ini untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan presiden yang sangat besar tesebut. Pandangan negara netral dan paham integralistik, yang biasanya melegitimasi konsep tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di negara ini. Seluruh hal tersebut, ditambah dengan adanya tuntutan demokratisasi di segala bidang yang sudah tidak mungkin ditahan lagi, mengartikan bahwa sudah saatnya kekuasaan presiden yang sangat besar harus dibatasi.
Studi ini ingin menjadi bagian dari diskurus tentang kekuasaan Presiden RI, khususnya kekuasaannya sebagai Kepala Negara. Dalam studi ini dipaparkan dan dianalisis bentuk-bentuk kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara, yang secara normatif didasarkan pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. B. Pokok Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Studi ini dilakukan dengan beberapa permasalahan yang dianggap mendasar bagi pelaksanaan kekuasaan presiden tersebut, yai-tu :
1. Apa saja bentuk kekuasaan presiden RI dalam hukum positif Indonesia serta bagaimana mekanisme pelaksanaannya selama ini?
2. Sistem dan mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mengurangi kecenderungan penyimpangan kekuasaan dari pelaksanaan kekuasaan tersebut?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran tentang konsep-konsep dan dasar hukum kekuasaan presiden RI.
2. Menganalisis secara konseptual mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI yang terdapat dalam hukum poistif di Indonesia.
3. Mengemukakan rekomendasi terhadap makanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI di masa mendatang.
C. Deskripsi Umum Pelaksanaan Kekuasaan Presiden Di Masa Orde Baru
Dalam banyak literatur telah dinyatakan bahwa UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar pada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Ismail Suny membagi kekuasaan Presiden RI berlandaskan UUD 1945 menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan legslatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan darurat. Sedangkan H. M. Ridhwan Indra dan Satya Arinanto membaginya ke dalam; kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan sebagai Kepala Negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan presiden yang luas tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan sekaligus mandataris MPR. Praktek kenegaraan dan politik yang dalam sejarah mendasarkan dirinya pada UUD 1945, ternyata cenderung memanfaatkan secara negatif peluang yang diberikan UUD 1945, yaitu kekuasaan sangat besar yang terpusat pada lembaga kepresidenan. Soekarno menjalankan kekuasaannya dengan menggunakan konsep demokrasi terpimpin. Konsep ini telah terbukti mengandung karakteristik otoritarian yang kental, dengan terpusatnya kekuasaan pemerintahan pada satu orang saja. Orde baru yang niat awal terbentuknya adalah mengoreksi segala wujud penyimpangan yang dilakukan rezim Soekarno, tenyata dalam prakteknya hanya mengubah jargon-jargon yang dikumandangkan pada masa sebelumnya, namun secara substansial sifat otoritariannya tidak berubah. Kalau pada rezim Soekarno model pemerintahan didasarkan pada paham demokrasi terpimpin dan Manipol Usdek, maka di masa pemerintahan Soeharto jargon tersebut dibahasakan dengan paham demokrasi pancasila yang didasarkan cita negara integralistik. Apabila di masa Soekarno legitimasi pemerintahannya didasarkan pada slogan “revolusi”, maka di era Soeharto legitimasinya didasarkan pada slogan “pembangunan” dan “stabilitas politik”. Kedua hal tersebut ditujukan untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat (strong state), yang oleh kedua rezim tersebut dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi berhasilnya suatu pemerintahan.
Mohtar Maso’ed mencatat bahwa latar belakang utama terbentuknya rezim orde baru yang otoritarian adalah trauma konflik politik yang parah, baik horisontal maupun vertikal, dan terpuruknya perekonomian Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno. Untuk itu orde baru memilih untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Secara konstitusional sebagaimana telah dikemukakan di atas, orde baru didukung oleh UUD 1945. Orde baru dan para pendukungnya, terutama Angkatan Darat, kemudian berhasil menempatkan pusat kekuasaan pengambilan keputusan kebijakan publik pada birokrasi yang secara langsung di komandoi oleh Presiden Soeharto. Sekurang-kurangnya ada lima kekuasaan presiden yang tercatat dalam hukum posistif Indonesia, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, serta kekuasaan militer dan darurat. Dalam praktek politik dan ketatanegaraan selama masa orde baru, implementasi dari kekuasaan-kekuasaan tersebut menjadi instrumen yang efektif untuk mengintervensi dan mengeliminasi peranan lembaga-lembaga negara lain dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan eksekutif, merupakan konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensil oleh UUD 1945, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan yang sangat luas ini selama pemerintahan orde baru tidak diterjemahkan lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk yang bersifat lebih operasional, dengan batas-batas tanggung jawab dan kewenangan yang jelas. Ketiadaan batas-batas tersebut menyebabkan Pasal 4 ayat (1) menjadi pegangan utama satu-satunya bagi kekuasaan pemerintahan ini.
Kewenangan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden. Sebagaimana telah disinyalir oleh berbagai pakar dan penelitian, kewenangan ini cenderung mengalami penyimpangan baik secara formil maupun materil, sehingga menjadi salah satu yang signifikan pada saat ini untuk dilakukan pengkajian ulang atas kewenangan pembentukan Keppres yang mandiri oleh presiden, di samping bentuk-bentuk lain dari kekuasaan pemerintahan lainnya.
Kekuasaan sebagai kepala negara oleh beberapa pakar hukum tata negara dikonsepkan secara berbeda-beda. Padmo Wahjono menyatakan kekuasaan presiden sebagai kepala negara secara sempit, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan peraturan perundang-undangan dalam hal pengangkatan-pengangkatan, adalah kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau advis suatu lembaga tinggi legara lainnya. Jadi bukan hak prerogatif yang mandiri. Dalam kenyataannya, selama pemerintahan orde baru, kewenangan yang “hanya” bersifat adminsitratif ini cukup berpengaruh terhadap jalannya praktek politik dan kenegaraan di Indonesia. Pengangkatan hakim-hakim, anggota-anggota MPR dan DPR, serta jabatan-jabatan penting lainnya, merupakan ajang seleksi politik bagi orang-orang yang akan memasuki wilayah kekuasaan negara. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang yang berada di “lingkar luar” kekuasaan sangat sulit untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga-lembaga yang harusnya melakukan fungsi kontrol, tidak dapat bertindak secara optimal bahkan mandul.
Kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif serta kekuasaan militer dan darurat, merupakan tambahan dari kekuasan presiden yang konvensional. Secara konseptual, ketiga kekuasaan yang langsung diberikan oleh UUD 1945 ini tidak dilakukan secara mandiri oleh presiden, namun pada taraf pelaksanaan tampak kekuasaan presiden begitu dominan, terutama dalam bidang pembentukan undang-undang dan dalam kedudukannya sebagai penguasa tertinggi militer. Legitimasi konstitusi saja tampaknya tidak cukup bagi orde baru. Untuk menghindari terulangnya keadaan di masa orde lama, orde baru secara sistematis berusaha memusatkan kekuasaan dengan melemahkan institusi-institusi yang seharusnya dapat menjadi lembaga kontrol yang mengimbangi kekuasaan presiden yang dominan. Institusi-institusi tersebut hampir merupakan seluruh bagian dari sistem kenegaraan di Indonesia. Mulai dari lembaga tertinggi dan tinggi negara, infrastruktur politik, pers, infrastruktur hukum sampai instritusi-institusi yang ada di dalam masyarakat hingga ruang lingkup terkecil, tak lepas dari intervensi kekuasaan. Kedudukan birokrasi yang dominan ini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber kekuasaannya, yaitu kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status sosial yang tinggi. Selama masa kepemimpinan Soeharto, unsur-unsur inilah yang kemudian menjadikan rezim yang dipimpinnya hampir steril dari kontrol lembaga lain, dan justru menjadi dasar bagi fungsi pengendalian atas masyarakat.
Jadi cukup jelas sebenarnya, kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa keberlakuannya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan golongan tertentu yang pragmatis sifatnya dan secara empiris selalu mengorbankan, atau paling tidak mengeliminasi, kepentingan demokratisasi di Indonesia.
A. KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE LAMA
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.[5] Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).[6]
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
(1). Gerakan separatis pada tahun 1957;
(2). Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.[7]
C. PARTAI POLITIK
Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:
1. Sarana komunikasi politik;
2. Sosialisasi politik;
3. Sarana rekruitmen politik;
4. Pengatur konflik. [12]
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai politik berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan.[13] Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara.
Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk: (a) untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya (kolonialisme dan imperialisme); (b) untuk mencerdaskan bangsa Indonesia; (c) untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
a. Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
b. Pemerintahan Negara yang demokratis;
c. Menentukan Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang sesuai dengan nilai-nilai sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing-masing organisasi politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:
a. Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
b. Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian, keberadaan partai politik-partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan umum di Indonesia, antara lain: pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga, untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara. [14]
Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya saling bergantungan dan mengisi.
1. Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.[15]
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai.[16] Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan "Deklarasi Bogor." [17]
2. Partai Politik dalam Era Orde Baru
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.[18]
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya.[19]
Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.
PENUTUP
Dengan melihat keseluruhan materi pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa politik hukum pada era Orde Lama dan Orde Baru memiliki perbedaan. Pada era Orde Lama sejak Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan konstituante lewat rumusan sebuah panitia kecil yang terdiri dari: Djuanda, A.H. Nasution, Moh. Yamin, Ruslan Abdul Gani dan Wirjono Prodjodikoro, beranggapan bahwa dasar hukum dari dekrit ini berdasarkan doktrin staatsnoodrecht dan noodstaatsrechts yaitu hak darurat yang dimiliki penguasa untuk mengeluarkan produk hukum yang menyimpang dari asas perundang-undangan yang baik karena adanya keadaan yang memaksa dan membahayakan keselamatan Negara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta mengingat bahwa lembaga-lembaga Negara sebagaimana digariskan oleh UUD 1945 belum lengkap, maka Presiden Soekarno melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1999 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS);
2. Dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara;
3. Pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960;
4. Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960 sekaligus pemberhentian dengan hormat Dewan Perwakilan Rakyat;
5. Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960.
MPRS yang dibentuk oleh Soekarno kemudian menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No. III Tahun 1963 yang jelas-jelas melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945.
Jatuhnya legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang kekuasaan Negara ditandai oleh peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia hingga berakibat pembunuhan besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia di berbagai daerah serta dikeluarkannya Supersemar yang pada hakekatnya merupakan bentuk penyerahan kekuasaan kepada Soeharto.[20]
Pada era Orde Baru dengan gagalnya Gerakan 30 September 1965 dan turunnya Soekarno dari kekuasaan menimbulkan suatu situasi baru (disebut Orde Baru), semboyan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen banyak dikemukakan pemerintah Orde Baru Pimpinan Soeharto yang lebih mengkonsentrasikan penyelenggaraan sistem pemerintahan dengan menitikberatkan pada aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional.[21] Pada era ini pula mulai memasukkan hak-hak politik warga Negara dan munculnya konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) yang dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1975 yang membatasi organisasi peserta Pemilu, serta memberikan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas sekaligus penyaringan partai politik melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu pada tahun 1971 hingga partai-partai hanya terbagi kedalam golongan partai yang berbasis nasional, spiritual dan karya. Selain itu pemerintahan Orde Baru berusaha menciptakan single majority lewat eksistensi partai Golongan Karya.
B. BENTUK KEKUASAAN ERA REFORMASI
Perubahan ekonomi dan politik pascakejatuhan Soeharto telah berjalan hampir sewindu. Selama itu pula sejumlah kajian akademis tentang masa depan ekonomi-politik Indonesia telah dilakukan.
Namun, upaya itu tampaknya tidak cukup memuaskan dalam memberikan eksplanasi, baik secara empiris maupun teoretis, tentang apa yang terjadi pasca-Soeharto.
Kejatuhan Soeharto di tahun 1998 yang dianggap merupakan momentum awal memasuki era reformasi oleh kebanyakan analis diyakini sebagai motor penggerak yang akan membawa Indonesia menuju demokrasi liberal dan ekonomi yang lebih berorientasi kepada pasar. Model argumentasi semacam ini jelas mengindikasikan kuatnya pengaruh teori transisi menuju demokrasi sebagai perangkat analisis dalam memahami berbagai perubahan ekonomi dan politik di Indonesia pasca-Soeharto.
Masa-masa awal Indonesia pasca-Soeharto—yang ditandai oleh berkembangnya kebebasan sipil dan politik di satu sisi serta berbagai reformasi terbatas ke arah pasar bebas di sisi lain—memang cukup memberikan keyakinan bahwa terwujudnya demokrasi liberal dan ekonomi pasar hanyalah soal waktu.
Meski demikian, bersamaan dengan tahun-tahun reformasi yang terus berjalan, indikasi yang mengarah pada terwujudnya demokrasi liberal dan ekonomi pasar dalam arti yang sesungguhnya tak kunjung menjadi kenyataan, setidaknya sampai dua kali penyelenggaraan pemilu di era reformasi ini. Problematika inilah yang menjadi fokus utama perhatian Vedi R Hadiz dalam kumpulan tulisannya di buku ini.
Ironi reformasi
Salah satu pertimbangan yang melatarbelakangi diterbitkannya kumpulan tulisan ini, sebagaimana diungkapkan oleh Rahadi T Wiratama, editor buku ini, adalah perspektif teoretis yang digunakan dalam mengamati perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto. Berbeda dengan kebanyakan analis yang umumnya mengadopsi bangunan teori transisi menuju demokrasi, Vedi justru menampik model penjelasan semacam itu.
Model penjelasan teori transisi menuju demokrasi yang pada dasarnya merupakan varian dari teori modernisasi dan teori struktural-fungsional umumnya memahami perubahan dengan penekanan yang kuat terhadap peran aktor, sementara perspektif yang digunakan penulis, yang kini berstatus sebagai asisten profesor pada Departemen Sosiologi Universitas Nasional Singapura itu bertumpu pada model analisis yang menekankan pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) serta pentingnya dimensi sejarah. Yang pertama memahami proses politik sebagai fenomen keseimbangan (ekuilibrium), sementara yang kedua memahaminya dari sudut pandang konflik (kontradiksi).
Melalui lensa teoretis semacam itu Vedi berargumen bahwa meski era pasca-Soeharto ditandai oleh liberalisasi politik, kecenderungan semacam itu tidak dengan sendirinya mampu mengubah relasi-relasi kekuasaan politik secara signifikan. Hal ini terutama dapat diamati pada kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini berada di lapisan paling bawah struktur piramida sosial di Indonesia.
Kelompok-kelompok semacam ini yakni buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin kota pada dasarnya tetap sulit untuk mengartikulasikan kepentingannya sekalipun terdapat ruang politik yang relatif lebih terbuka dibandingkan dengan era Soeharto. Pertanyaannya tentu saja adalah mengapa dan bagaimana hal itu dapat terjadi?
Secara ideal dapat diasumsikan bahwa terbukanya ruang politik di era pasca-Soeharto tentunya akan memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan untuk mendesakkan kepentingannya. Namun, asumsi semacam itu terbukti keliru. Fakta memperlihatkan bahwa proses-proses ekonomi-politik yang terjadi umumnya tidak berada pada posisi yang berpihak kepada kelompok-kelompok lapis bawah. Sebaliknya, kelompok-kelompok dominan yang awalnya diperkirakan akan mengalami pukulan telak sebagai akibat gerakan reformasi terbukti tetap memegang kendali atas jalannya kekuasaan ekonomi dan politik.
Dominasi kelompok-kelompok lama dalam proses-proses ekonomi-politik pasca-Soeharto di satu sisi serta lemahnya kelompok-kelompok masyarakat lapis bawah di sisi lain, menurut pengamatan Vedi, merupakan sebuah warisan historis yang akar-akarnya dapat ditelusuri pada periode Orde Baru. Tidak diragukan lagi bahwa pengalaman disorganisasi dan deideologisasi sistematik terhadap berbagai kekuatan masyarakat sipil di bawah kediktatoran Orde Baru yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa itu memiliki konsekuensi politik yang cukup serius. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila berbagai kelompok masyarakat sipil, terutama kalangan masyarakat lapis bawah, tidak terlalu siap dengan agenda-agenda transformatif ketika peluang mulai terbuka bersamaan dengan lengsernya Soeharto dari kekuasaan di tahun 1998.
Sementara itu, gelombang reformasi ternyata juga tidak cukup memiliki kemampuan untuk menyapu bersih kelompok-kelompok dominan ”eks” Orde Baru. Bahkan, kelompok-kelompok ini mampu menyesuaikan diri terhadap logika reformasi. Melalui kerangka kelembagaan baru di era reformasi ini yakni partai politik, pemilu, parlemen, dan desentralisasi pemerintahan kelompok-kelompok dominan dengan cepat melakukan penataan diri kembali dan tetap memiliki akses yang sangat kuat atas proses-proses ekonomi-politik di Indonesia.
Dengan demikian, bentuk-bentuk perubahan kelembagaan politik pasca-Soeharto, yang tampaknya memberikan semacam isyarat yang menandai titik awal untuk mengantarkan Indonesia memasuki gerbang demokrasi yang lebih partisipatif, ternyata bergerak ke arah yang ”lain”. Hingga hari ini, lembaga-lembaga demokrasi hasil reformasi tetap kebal dari kepentingan mayoritas masyarakat lapis bawah sekalipun telah tersedia ruang artikulasi yang relatif lebih terbuka.
Lebih dari itu, kehadiran lembaga-lembaga demokrasi ternyata tidak serta-merta diiringi oleh munculnya praktik politik yang lebih beradab, melainkan telah ditandai oleh merajalelanya praktik politik uang, eksploitasi simbol-simbol identitas melalui jalur etnis dan agama, serta kekerasan dan premanisme. Sementara itu, ”perubahan” di bidang ekonomi pasca-Soeharto juga tidak disertai munculnya rule of law, transparansi, dan akuntabilitas publik sebagaimana layaknya sistem ekonomi pasar bebas melainkan justru menyuburkan praktik KKN gaya baru.
Kesemuanya itu, menurut pengamatan Vedi, ditengarai telah dilakukan oleh pelaku-pelaku lama beserta segelintir sekutu baru mereka yang datang belakangan. Ini berarti bahwa arah perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto sama sekali tidak bergerak ke arah model pasar bebas beserta kembaran alamiahnya: demokrasi liberal.
Dari berbagai gejala yang dapat diamati secara kritis, dapat disimpulkan bahwa perubahan ekonomi-politik di era pasca-Soeharto sesungguhnya hanya terjadi pada tingkat kelembagaan dan bentuk. Partai politik, pemilihan umum, parlemen, dan desentralisasi pemerintahan telah menjadi sarana baru untuk melanggengkan kekuasaan. Kenyataan semacam ini jelas merupakan sebuah ironi yang menyakitkan: lembaga-lembaga demokrasi hasil reformasi itu ternyata tidak berada di tangan kaum reformis, melainkan berada dalam genggaman kelompok-kelompok yang kepentingannya berseberangan dengan cita-cita reformasi.
Meski Vedi mengakui bahwa kekuasaan yang tersentralisasi kini tak lagi menjadi ciri politik di era sekarang ini, hal itu tidak dengan sendirinya merupakan keruntuhan bagi kelompok-kelompok eks rezim Orde Baru. Kelompok yang oleh Vedi dijuluki sebagai ”predator” ini merupakan pewaris utama yang sesungguhnya dari reformasi ekonomi-politik pasca-Soeharto. Perbedaannya dengan era Orde Baru hanyalah terletak pada bentuk kekuasaan yang relatif lebih cair, terbuka, dan terdesentralisasi.
Berjubah demokrasi
Dengan latar fakta-fakta semacam itu, tidak terlalu berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa lembaga-lembaga demokrasi ternyata juga bukan merupakan senjata ampuh untuk mengikis kepentingan ekonomi-politik kelompok-kelompok dominan sebagaimana yang mungkin telanjur diyakini oleh kebanyakan para analis. Sebaliknya, lembaga-lembaga semacam itu justru menjadi instrumen yang cukup efektif meski sedikit mahal dari segi ongkos sosialnya untuk tetap mempertahankan sebuah dominasi kekuasaan ekonomi-politik.
Dengan demikian, iklim politik yang terbuka dan sistem multipartai ternyata bukan sesuatu yang menakutkan bagi kelompok-kelompok dominan. Di masa lalu, saat kaum reformis memperjuangkan soal ini, kelompok-kelompok dominan boleh jadi merasa terancam. Namun, ketika terjadi proses perubahan sebagai akibat jatuhnya Soeharto di tahun 1998, iklim politik yang terbuka dan sistem multipartai justru beralih menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan kelompok-kelompok dominan. Intisari yang ingin disampaikan Vedi dalam berbagai kajiannya tentang perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto adalah bahwa dominasi segelintir orang terhadap mayoritas lainnya ternyata compatible dengan lembaga dan prosedur demokrasi.
Pada sisi lain, keniscayaan akan terjadinya transformasi besar-besaran ekonomi-politik pasca-Soeharto sebagaimana yang dianut oleh para pendukung teori transisi ke arah demokrasi semata-mata hanya karena didasarkan atas gejala perubahan pada tingkat kelembagaan. Ini jelas merupakan kenaifan tersendiri. Para penganut pandangan ini, agaknya, menderita semacam khayalan teknokratik neo-Platonian.
Studi yang dilakukan terhadap perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto dengan jelas memperlihatkan kelemahan perspektif semacam ini. Sebaliknya, pendekatan teoretis yang digunakan Vedi dengan penekanan yang kuat terhadap aspek dinamika kekuatan sosial dan sejarah sebagai basis perangkat analisis setidaknya lebih dapat mengungkap fakta-fakta empiris di balik perubahan kerangka kelembagaan ekonomi-politik pasca-Soeharto.
Secara konseptual, komponen-komponen pokok yang ada di dalam pembangunan politik adalah bahwa pemerintah kita harus selalu mampu menanggapi setiap perubahan yang ada dalam masyarakat, sebab suprastruktur dan infrastruktur politik yang ada memang efektif dan berfungsi secara optimal, yang kesemuanya didukung oleh warganegara yang dinamis dan berada dalam naungan persamaan hukum dan perundang-undangan. Pencapaian hal-hal tersebut biasanya selalu akan menimbulkan permasalahan yang menyangkut identitas (jati diri) bangsa, legitimasi kekuasaan, partisipasi anggota masyarakat, serta menyangkut pemerataan hasil-hasil pembangunan melalui sistem yang efektif yang menjangkau keseluruh lapisan masyarakat. Setiap kali kita berhasil mengatasi suatu permasalahan tersebut maka berarti kita “maju” di dalam melakukan pembangunan politik di dalam mengembangkan sistem demokrasi. Sejak awal Indonesia berdiri, kehidupan politik dan hukum diwarnai begitu rupa, tidak dalam pengertian hingar bingarnya demokrasi, tetapi justru secara mencolok dapat dikatakan oleh sentralisasi kekuasaan pada satu tangan, meskipun sebenarnya konstitusi telah memberi peluang yang cukup besar kepada hukum.[1]
Secara umum proses perjalanan bangsa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu, periode Orde Lama dan periode Orde Baru. Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965. Namun sejarah juga menunjukkan rezim Orde Baru yang dianggap memberikan perbaikan dan menyelamatkan keadaan bangsa saat itu selama masa pemerintahannya melakukan pemasungan terhadap hak-hak politik warga negara, pembangunan memang dapat berjalan dengan cukup baik dimana tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan pernah mencapai 7 % (tujuh persen) namun keberhasilan itu hanya bersifat semu karena semua pembangunan dibiayai dari hutang luar negeri yang berakibat timbulnya krisis moneter dan tumbuh sehatnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.[2]
PEMBAHASAN
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.[3]
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.[4]
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.
Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.
Dalam penulisan ini, kami mencoba memberikan penjelasan singkat seputar konfigurasi politik yang dibatasi pada dua era, yakni Orde Lama dan Orde Baru, serta pemahaman terhadap partai politiknya.
ORDE BARU
Latar Belakang
Diskursus mengenai lembaga-lembaga negara di Indonesia selalu menjadi bahasan yang menarik, UUD 1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terjadi selama empat dekade terakhir ini bahkan menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih berat ke lembaga eksekutif. Posisi Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya semakin mendorong kecenderungan ini ke arah yang negatif.
UUD 1945 memberikan wewenang tertentu kepada presiden dalam menjalankan tugas pemerintahan. Namun demikian pemberian wewenang tersebut tidak diikuti dengan batasan-batasan terhadap penggunaannya. Soekarno, mantan presiden RI, dalam rapat pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 adalah “UUD Kilat”, ini dikarenakan mendesaknya keinginan untuk memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu sehingga infrastruktur bagi sebuah negara yang merdeka harus segera disiapkan. Hal ini menyebabkan UUD 1945 menjadi UUD yang singkat dan sangat interpretatif. Upaya politik untuk tidak mengadakan perubahan terhadap UUD 1945, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 sendiri (Pasal 3 juncto Aturan Peralihan, butir 2), juga tidak diikuti oleh upaya lembaga legislatif untuk membuat ketentuan lebih lanjut terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Tidak banyak pasal dalam UUD 1945 yang telah diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya dan pasal-pasal yang mengatur mengenai wewenang presiden sebagai kepala negara merupakan beberapa di antaranya.
Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945, yaitu antara lain tercantum dalam Pasal 10 sampai Pasal 15. Dalam pelaksanaannya, ternyata kekuasaan tersebut telah banyak menimbulkan berbagai masalah yang sampai saat ini masih diwarnai pendapat pro dan kontra seputar penggunaannya. Hal ini dapat disebabkan karena tiga hal. Pertama, besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak diikuti dengan mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan adanya kontrol, misalnya pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan kabinet, wewenang untuk menyatakan perang, dan lain-lain. Kedua, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan sensitivitas dalam tubuh masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya presiden. Ketiga, berkaitan erat dengan yang kedua, sensitivitas ini juga didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dengan sangat cepat dengan dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan pada saat ini.
Diskusi dan kajian tentang negara di Indonesia pada umumnya didominasi oleh pendapat kuat yang beranggapan bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Kepercayaan yang tulus pada hal ideal ini mungkin yang mendasari pendapat-pendapat di atas, yang oleh para pejabat negara ini kemudian diturunkan menjadi jargon-jargon “demi kepentingan umum”, “pembangunan untuk seluruh masyarakat” dan lain sebagainya. Namun pada kenyataan di lapangan, terjadi banyak hal yang tidak membuktikan anggapan ideal tersebut. Negara yang identik dengan kekuasaan, sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, cenderung untuk korup, dalam arti menyimpangi kekuasaanya (abuse of power). Negara ternyata juga memiliki kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sendiri yang terkadang justru merugikan kepentingan umum. Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat dari terpusatnya kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi negatifnya, tampaknya mengharuskan bangsa ini untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan presiden yang sangat besar tesebut. Pandangan negara netral dan paham integralistik, yang biasanya melegitimasi konsep tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di negara ini. Seluruh hal tersebut, ditambah dengan adanya tuntutan demokratisasi di segala bidang yang sudah tidak mungkin ditahan lagi, mengartikan bahwa sudah saatnya kekuasaan presiden yang sangat besar harus dibatasi.
Studi ini ingin menjadi bagian dari diskurus tentang kekuasaan Presiden RI, khususnya kekuasaannya sebagai Kepala Negara. Dalam studi ini dipaparkan dan dianalisis bentuk-bentuk kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara, yang secara normatif didasarkan pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. B. Pokok Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Studi ini dilakukan dengan beberapa permasalahan yang dianggap mendasar bagi pelaksanaan kekuasaan presiden tersebut, yai-tu :
1. Apa saja bentuk kekuasaan presiden RI dalam hukum positif Indonesia serta bagaimana mekanisme pelaksanaannya selama ini?
2. Sistem dan mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mengurangi kecenderungan penyimpangan kekuasaan dari pelaksanaan kekuasaan tersebut?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran tentang konsep-konsep dan dasar hukum kekuasaan presiden RI.
2. Menganalisis secara konseptual mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI yang terdapat dalam hukum poistif di Indonesia.
3. Mengemukakan rekomendasi terhadap makanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI di masa mendatang.
C. Deskripsi Umum Pelaksanaan Kekuasaan Presiden Di Masa Orde Baru
Dalam banyak literatur telah dinyatakan bahwa UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar pada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Ismail Suny membagi kekuasaan Presiden RI berlandaskan UUD 1945 menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan legslatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan darurat. Sedangkan H. M. Ridhwan Indra dan Satya Arinanto membaginya ke dalam; kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan sebagai Kepala Negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan presiden yang luas tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan sekaligus mandataris MPR. Praktek kenegaraan dan politik yang dalam sejarah mendasarkan dirinya pada UUD 1945, ternyata cenderung memanfaatkan secara negatif peluang yang diberikan UUD 1945, yaitu kekuasaan sangat besar yang terpusat pada lembaga kepresidenan. Soekarno menjalankan kekuasaannya dengan menggunakan konsep demokrasi terpimpin. Konsep ini telah terbukti mengandung karakteristik otoritarian yang kental, dengan terpusatnya kekuasaan pemerintahan pada satu orang saja. Orde baru yang niat awal terbentuknya adalah mengoreksi segala wujud penyimpangan yang dilakukan rezim Soekarno, tenyata dalam prakteknya hanya mengubah jargon-jargon yang dikumandangkan pada masa sebelumnya, namun secara substansial sifat otoritariannya tidak berubah. Kalau pada rezim Soekarno model pemerintahan didasarkan pada paham demokrasi terpimpin dan Manipol Usdek, maka di masa pemerintahan Soeharto jargon tersebut dibahasakan dengan paham demokrasi pancasila yang didasarkan cita negara integralistik. Apabila di masa Soekarno legitimasi pemerintahannya didasarkan pada slogan “revolusi”, maka di era Soeharto legitimasinya didasarkan pada slogan “pembangunan” dan “stabilitas politik”. Kedua hal tersebut ditujukan untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat (strong state), yang oleh kedua rezim tersebut dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi berhasilnya suatu pemerintahan.
Mohtar Maso’ed mencatat bahwa latar belakang utama terbentuknya rezim orde baru yang otoritarian adalah trauma konflik politik yang parah, baik horisontal maupun vertikal, dan terpuruknya perekonomian Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno. Untuk itu orde baru memilih untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Secara konstitusional sebagaimana telah dikemukakan di atas, orde baru didukung oleh UUD 1945. Orde baru dan para pendukungnya, terutama Angkatan Darat, kemudian berhasil menempatkan pusat kekuasaan pengambilan keputusan kebijakan publik pada birokrasi yang secara langsung di komandoi oleh Presiden Soeharto. Sekurang-kurangnya ada lima kekuasaan presiden yang tercatat dalam hukum posistif Indonesia, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, serta kekuasaan militer dan darurat. Dalam praktek politik dan ketatanegaraan selama masa orde baru, implementasi dari kekuasaan-kekuasaan tersebut menjadi instrumen yang efektif untuk mengintervensi dan mengeliminasi peranan lembaga-lembaga negara lain dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan eksekutif, merupakan konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensil oleh UUD 1945, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan yang sangat luas ini selama pemerintahan orde baru tidak diterjemahkan lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk yang bersifat lebih operasional, dengan batas-batas tanggung jawab dan kewenangan yang jelas. Ketiadaan batas-batas tersebut menyebabkan Pasal 4 ayat (1) menjadi pegangan utama satu-satunya bagi kekuasaan pemerintahan ini.
Kewenangan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden. Sebagaimana telah disinyalir oleh berbagai pakar dan penelitian, kewenangan ini cenderung mengalami penyimpangan baik secara formil maupun materil, sehingga menjadi salah satu yang signifikan pada saat ini untuk dilakukan pengkajian ulang atas kewenangan pembentukan Keppres yang mandiri oleh presiden, di samping bentuk-bentuk lain dari kekuasaan pemerintahan lainnya.
Kekuasaan sebagai kepala negara oleh beberapa pakar hukum tata negara dikonsepkan secara berbeda-beda. Padmo Wahjono menyatakan kekuasaan presiden sebagai kepala negara secara sempit, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan peraturan perundang-undangan dalam hal pengangkatan-pengangkatan, adalah kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau advis suatu lembaga tinggi legara lainnya. Jadi bukan hak prerogatif yang mandiri. Dalam kenyataannya, selama pemerintahan orde baru, kewenangan yang “hanya” bersifat adminsitratif ini cukup berpengaruh terhadap jalannya praktek politik dan kenegaraan di Indonesia. Pengangkatan hakim-hakim, anggota-anggota MPR dan DPR, serta jabatan-jabatan penting lainnya, merupakan ajang seleksi politik bagi orang-orang yang akan memasuki wilayah kekuasaan negara. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang yang berada di “lingkar luar” kekuasaan sangat sulit untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga-lembaga yang harusnya melakukan fungsi kontrol, tidak dapat bertindak secara optimal bahkan mandul.
Kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif serta kekuasaan militer dan darurat, merupakan tambahan dari kekuasan presiden yang konvensional. Secara konseptual, ketiga kekuasaan yang langsung diberikan oleh UUD 1945 ini tidak dilakukan secara mandiri oleh presiden, namun pada taraf pelaksanaan tampak kekuasaan presiden begitu dominan, terutama dalam bidang pembentukan undang-undang dan dalam kedudukannya sebagai penguasa tertinggi militer. Legitimasi konstitusi saja tampaknya tidak cukup bagi orde baru. Untuk menghindari terulangnya keadaan di masa orde lama, orde baru secara sistematis berusaha memusatkan kekuasaan dengan melemahkan institusi-institusi yang seharusnya dapat menjadi lembaga kontrol yang mengimbangi kekuasaan presiden yang dominan. Institusi-institusi tersebut hampir merupakan seluruh bagian dari sistem kenegaraan di Indonesia. Mulai dari lembaga tertinggi dan tinggi negara, infrastruktur politik, pers, infrastruktur hukum sampai instritusi-institusi yang ada di dalam masyarakat hingga ruang lingkup terkecil, tak lepas dari intervensi kekuasaan. Kedudukan birokrasi yang dominan ini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber kekuasaannya, yaitu kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status sosial yang tinggi. Selama masa kepemimpinan Soeharto, unsur-unsur inilah yang kemudian menjadikan rezim yang dipimpinnya hampir steril dari kontrol lembaga lain, dan justru menjadi dasar bagi fungsi pengendalian atas masyarakat.
Jadi cukup jelas sebenarnya, kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa keberlakuannya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan golongan tertentu yang pragmatis sifatnya dan secara empiris selalu mengorbankan, atau paling tidak mengeliminasi, kepentingan demokratisasi di Indonesia.
A. KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE LAMA
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.[5] Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).[6]
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
(1). Gerakan separatis pada tahun 1957;
(2). Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.[7]
C. PARTAI POLITIK
Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:
1. Sarana komunikasi politik;
2. Sosialisasi politik;
3. Sarana rekruitmen politik;
4. Pengatur konflik. [12]
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai politik berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan.[13] Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara.
Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk: (a) untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya (kolonialisme dan imperialisme); (b) untuk mencerdaskan bangsa Indonesia; (c) untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
a. Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
b. Pemerintahan Negara yang demokratis;
c. Menentukan Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang sesuai dengan nilai-nilai sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing-masing organisasi politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:
a. Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
b. Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian, keberadaan partai politik-partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan umum di Indonesia, antara lain: pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga, untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara. [14]
Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya saling bergantungan dan mengisi.
1. Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.[15]
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai.[16] Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan "Deklarasi Bogor." [17]
2. Partai Politik dalam Era Orde Baru
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.[18]
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya.[19]
Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.
PENUTUP
Dengan melihat keseluruhan materi pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa politik hukum pada era Orde Lama dan Orde Baru memiliki perbedaan. Pada era Orde Lama sejak Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan konstituante lewat rumusan sebuah panitia kecil yang terdiri dari: Djuanda, A.H. Nasution, Moh. Yamin, Ruslan Abdul Gani dan Wirjono Prodjodikoro, beranggapan bahwa dasar hukum dari dekrit ini berdasarkan doktrin staatsnoodrecht dan noodstaatsrechts yaitu hak darurat yang dimiliki penguasa untuk mengeluarkan produk hukum yang menyimpang dari asas perundang-undangan yang baik karena adanya keadaan yang memaksa dan membahayakan keselamatan Negara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta mengingat bahwa lembaga-lembaga Negara sebagaimana digariskan oleh UUD 1945 belum lengkap, maka Presiden Soekarno melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1999 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS);
2. Dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara;
3. Pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960;
4. Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960 sekaligus pemberhentian dengan hormat Dewan Perwakilan Rakyat;
5. Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960.
MPRS yang dibentuk oleh Soekarno kemudian menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No. III Tahun 1963 yang jelas-jelas melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945.
Jatuhnya legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang kekuasaan Negara ditandai oleh peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia hingga berakibat pembunuhan besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia di berbagai daerah serta dikeluarkannya Supersemar yang pada hakekatnya merupakan bentuk penyerahan kekuasaan kepada Soeharto.[20]
Pada era Orde Baru dengan gagalnya Gerakan 30 September 1965 dan turunnya Soekarno dari kekuasaan menimbulkan suatu situasi baru (disebut Orde Baru), semboyan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen banyak dikemukakan pemerintah Orde Baru Pimpinan Soeharto yang lebih mengkonsentrasikan penyelenggaraan sistem pemerintahan dengan menitikberatkan pada aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional.[21] Pada era ini pula mulai memasukkan hak-hak politik warga Negara dan munculnya konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) yang dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1975 yang membatasi organisasi peserta Pemilu, serta memberikan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas sekaligus penyaringan partai politik melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu pada tahun 1971 hingga partai-partai hanya terbagi kedalam golongan partai yang berbasis nasional, spiritual dan karya. Selain itu pemerintahan Orde Baru berusaha menciptakan single majority lewat eksistensi partai Golongan Karya.
B. BENTUK KEKUASAAN ERA REFORMASI
Perubahan ekonomi dan politik pascakejatuhan Soeharto telah berjalan hampir sewindu. Selama itu pula sejumlah kajian akademis tentang masa depan ekonomi-politik Indonesia telah dilakukan.
Namun, upaya itu tampaknya tidak cukup memuaskan dalam memberikan eksplanasi, baik secara empiris maupun teoretis, tentang apa yang terjadi pasca-Soeharto.
Kejatuhan Soeharto di tahun 1998 yang dianggap merupakan momentum awal memasuki era reformasi oleh kebanyakan analis diyakini sebagai motor penggerak yang akan membawa Indonesia menuju demokrasi liberal dan ekonomi yang lebih berorientasi kepada pasar. Model argumentasi semacam ini jelas mengindikasikan kuatnya pengaruh teori transisi menuju demokrasi sebagai perangkat analisis dalam memahami berbagai perubahan ekonomi dan politik di Indonesia pasca-Soeharto.
Masa-masa awal Indonesia pasca-Soeharto—yang ditandai oleh berkembangnya kebebasan sipil dan politik di satu sisi serta berbagai reformasi terbatas ke arah pasar bebas di sisi lain—memang cukup memberikan keyakinan bahwa terwujudnya demokrasi liberal dan ekonomi pasar hanyalah soal waktu.
Meski demikian, bersamaan dengan tahun-tahun reformasi yang terus berjalan, indikasi yang mengarah pada terwujudnya demokrasi liberal dan ekonomi pasar dalam arti yang sesungguhnya tak kunjung menjadi kenyataan, setidaknya sampai dua kali penyelenggaraan pemilu di era reformasi ini. Problematika inilah yang menjadi fokus utama perhatian Vedi R Hadiz dalam kumpulan tulisannya di buku ini.
Ironi reformasi
Salah satu pertimbangan yang melatarbelakangi diterbitkannya kumpulan tulisan ini, sebagaimana diungkapkan oleh Rahadi T Wiratama, editor buku ini, adalah perspektif teoretis yang digunakan dalam mengamati perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto. Berbeda dengan kebanyakan analis yang umumnya mengadopsi bangunan teori transisi menuju demokrasi, Vedi justru menampik model penjelasan semacam itu.
Model penjelasan teori transisi menuju demokrasi yang pada dasarnya merupakan varian dari teori modernisasi dan teori struktural-fungsional umumnya memahami perubahan dengan penekanan yang kuat terhadap peran aktor, sementara perspektif yang digunakan penulis, yang kini berstatus sebagai asisten profesor pada Departemen Sosiologi Universitas Nasional Singapura itu bertumpu pada model analisis yang menekankan pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) serta pentingnya dimensi sejarah. Yang pertama memahami proses politik sebagai fenomen keseimbangan (ekuilibrium), sementara yang kedua memahaminya dari sudut pandang konflik (kontradiksi).
Melalui lensa teoretis semacam itu Vedi berargumen bahwa meski era pasca-Soeharto ditandai oleh liberalisasi politik, kecenderungan semacam itu tidak dengan sendirinya mampu mengubah relasi-relasi kekuasaan politik secara signifikan. Hal ini terutama dapat diamati pada kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini berada di lapisan paling bawah struktur piramida sosial di Indonesia.
Kelompok-kelompok semacam ini yakni buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin kota pada dasarnya tetap sulit untuk mengartikulasikan kepentingannya sekalipun terdapat ruang politik yang relatif lebih terbuka dibandingkan dengan era Soeharto. Pertanyaannya tentu saja adalah mengapa dan bagaimana hal itu dapat terjadi?
Secara ideal dapat diasumsikan bahwa terbukanya ruang politik di era pasca-Soeharto tentunya akan memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan untuk mendesakkan kepentingannya. Namun, asumsi semacam itu terbukti keliru. Fakta memperlihatkan bahwa proses-proses ekonomi-politik yang terjadi umumnya tidak berada pada posisi yang berpihak kepada kelompok-kelompok lapis bawah. Sebaliknya, kelompok-kelompok dominan yang awalnya diperkirakan akan mengalami pukulan telak sebagai akibat gerakan reformasi terbukti tetap memegang kendali atas jalannya kekuasaan ekonomi dan politik.
Dominasi kelompok-kelompok lama dalam proses-proses ekonomi-politik pasca-Soeharto di satu sisi serta lemahnya kelompok-kelompok masyarakat lapis bawah di sisi lain, menurut pengamatan Vedi, merupakan sebuah warisan historis yang akar-akarnya dapat ditelusuri pada periode Orde Baru. Tidak diragukan lagi bahwa pengalaman disorganisasi dan deideologisasi sistematik terhadap berbagai kekuatan masyarakat sipil di bawah kediktatoran Orde Baru yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa itu memiliki konsekuensi politik yang cukup serius. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila berbagai kelompok masyarakat sipil, terutama kalangan masyarakat lapis bawah, tidak terlalu siap dengan agenda-agenda transformatif ketika peluang mulai terbuka bersamaan dengan lengsernya Soeharto dari kekuasaan di tahun 1998.
Sementara itu, gelombang reformasi ternyata juga tidak cukup memiliki kemampuan untuk menyapu bersih kelompok-kelompok dominan ”eks” Orde Baru. Bahkan, kelompok-kelompok ini mampu menyesuaikan diri terhadap logika reformasi. Melalui kerangka kelembagaan baru di era reformasi ini yakni partai politik, pemilu, parlemen, dan desentralisasi pemerintahan kelompok-kelompok dominan dengan cepat melakukan penataan diri kembali dan tetap memiliki akses yang sangat kuat atas proses-proses ekonomi-politik di Indonesia.
Dengan demikian, bentuk-bentuk perubahan kelembagaan politik pasca-Soeharto, yang tampaknya memberikan semacam isyarat yang menandai titik awal untuk mengantarkan Indonesia memasuki gerbang demokrasi yang lebih partisipatif, ternyata bergerak ke arah yang ”lain”. Hingga hari ini, lembaga-lembaga demokrasi hasil reformasi tetap kebal dari kepentingan mayoritas masyarakat lapis bawah sekalipun telah tersedia ruang artikulasi yang relatif lebih terbuka.
Lebih dari itu, kehadiran lembaga-lembaga demokrasi ternyata tidak serta-merta diiringi oleh munculnya praktik politik yang lebih beradab, melainkan telah ditandai oleh merajalelanya praktik politik uang, eksploitasi simbol-simbol identitas melalui jalur etnis dan agama, serta kekerasan dan premanisme. Sementara itu, ”perubahan” di bidang ekonomi pasca-Soeharto juga tidak disertai munculnya rule of law, transparansi, dan akuntabilitas publik sebagaimana layaknya sistem ekonomi pasar bebas melainkan justru menyuburkan praktik KKN gaya baru.
Kesemuanya itu, menurut pengamatan Vedi, ditengarai telah dilakukan oleh pelaku-pelaku lama beserta segelintir sekutu baru mereka yang datang belakangan. Ini berarti bahwa arah perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto sama sekali tidak bergerak ke arah model pasar bebas beserta kembaran alamiahnya: demokrasi liberal.
Dari berbagai gejala yang dapat diamati secara kritis, dapat disimpulkan bahwa perubahan ekonomi-politik di era pasca-Soeharto sesungguhnya hanya terjadi pada tingkat kelembagaan dan bentuk. Partai politik, pemilihan umum, parlemen, dan desentralisasi pemerintahan telah menjadi sarana baru untuk melanggengkan kekuasaan. Kenyataan semacam ini jelas merupakan sebuah ironi yang menyakitkan: lembaga-lembaga demokrasi hasil reformasi itu ternyata tidak berada di tangan kaum reformis, melainkan berada dalam genggaman kelompok-kelompok yang kepentingannya berseberangan dengan cita-cita reformasi.
Meski Vedi mengakui bahwa kekuasaan yang tersentralisasi kini tak lagi menjadi ciri politik di era sekarang ini, hal itu tidak dengan sendirinya merupakan keruntuhan bagi kelompok-kelompok eks rezim Orde Baru. Kelompok yang oleh Vedi dijuluki sebagai ”predator” ini merupakan pewaris utama yang sesungguhnya dari reformasi ekonomi-politik pasca-Soeharto. Perbedaannya dengan era Orde Baru hanyalah terletak pada bentuk kekuasaan yang relatif lebih cair, terbuka, dan terdesentralisasi.
Berjubah demokrasi
Dengan latar fakta-fakta semacam itu, tidak terlalu berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa lembaga-lembaga demokrasi ternyata juga bukan merupakan senjata ampuh untuk mengikis kepentingan ekonomi-politik kelompok-kelompok dominan sebagaimana yang mungkin telanjur diyakini oleh kebanyakan para analis. Sebaliknya, lembaga-lembaga semacam itu justru menjadi instrumen yang cukup efektif meski sedikit mahal dari segi ongkos sosialnya untuk tetap mempertahankan sebuah dominasi kekuasaan ekonomi-politik.
Dengan demikian, iklim politik yang terbuka dan sistem multipartai ternyata bukan sesuatu yang menakutkan bagi kelompok-kelompok dominan. Di masa lalu, saat kaum reformis memperjuangkan soal ini, kelompok-kelompok dominan boleh jadi merasa terancam. Namun, ketika terjadi proses perubahan sebagai akibat jatuhnya Soeharto di tahun 1998, iklim politik yang terbuka dan sistem multipartai justru beralih menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan kelompok-kelompok dominan. Intisari yang ingin disampaikan Vedi dalam berbagai kajiannya tentang perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto adalah bahwa dominasi segelintir orang terhadap mayoritas lainnya ternyata compatible dengan lembaga dan prosedur demokrasi.
Pada sisi lain, keniscayaan akan terjadinya transformasi besar-besaran ekonomi-politik pasca-Soeharto sebagaimana yang dianut oleh para pendukung teori transisi ke arah demokrasi semata-mata hanya karena didasarkan atas gejala perubahan pada tingkat kelembagaan. Ini jelas merupakan kenaifan tersendiri. Para penganut pandangan ini, agaknya, menderita semacam khayalan teknokratik neo-Platonian.
Studi yang dilakukan terhadap perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto dengan jelas memperlihatkan kelemahan perspektif semacam ini. Sebaliknya, pendekatan teoretis yang digunakan Vedi dengan penekanan yang kuat terhadap aspek dinamika kekuatan sosial dan sejarah sebagai basis perangkat analisis setidaknya lebih dapat mengungkap fakta-fakta empiris di balik perubahan kerangka kelembagaan ekonomi-politik pasca-Soeharto.
SISTEM ADMINISTRASI NEGARA INDONESIA
Pemikiran Sistem
1. Teori sistem merupakan kerangka konseptual atau satu cara pendekatan yang dipergunakan untuk menganalisis lingkungan atau gejala yang bersifat kompleks dan dinamis.
2. Pendekatan sistem, pertama melihat sesuatu secara keseluruhan. Baru kemudian mengamati bagian-bagiannya (sub-subsistem); di mana bagian-bagian (sub-subsistem) itu saling melakukan interaksi dan interrelasi.
3. Karakteristik sistem menurut Schoderbek terdiri dari: interrelasi, interdependensi, holisme, sasaran, masukan dan keluaran, transformasi, entropi, regulasi, hierarki, diferensiasi, dan ekuifinaliti. Sedang sarjana lain, menunjukkan bahwa karakteristik sistem terdiri dari masukan, proses, keluaran dan umpan balik.
4. Yang dimaksud dengan sistem administrasi negara adalah “struktur untuk mengalokasikan barang dan jasa dalam satu pemerintahan”. Karakteristik sistem administrasi negara terdiri dari masukan, proses/konversi, keluaran, dan umpan balik.
5. Studi ekologi dalam administrasi negara dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai administrasi negara yang sesuai dengan lingkungan penerimanya. Studi ekologi harus diterjemahkan sebagai satu cara pandang untuk mendekati hubungan sistem administrasi dengan faktor-faktor non-administrasi.
Sistem Administrasi Negara Indonesia
1. Sistem administrasi negara Indonesia haruslah diterjemahkan sebagai bagian integral dari sistem nasional.
2. Landasan, tujuan, dan asas sistem administrasi negara adalah sama dengan landasan, tujuan, dan asas sistem nasional, yang tertera dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
3. Penyempurnaan dan perbaikan terhadap sistem administrasi negara diarahkan untuk memperkuat kapasitas administrasi. Kegiatan ini merupakan satu proses rasionalisasi terhadap sistem administrasi, agar dapat memenuhi fungsinya sebagai instrumen pembangunan dan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
4. Selama Orde Baru telah dilakukan usaha-usaha yang konsisten untuk memperbaiki sistem administrasi negara.
Pengantar Ilmu Administrasi Negara
Studi Perilaku dan Sumber Daya
1. Pandangan filosofi mengenai administrasi negara dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: pandangan makro dan pandangan mikro.
2. Etika administrasi dibahas dalam hubunganya dengan masalah tujuan dan cara yang diperlakukan dalam lingkungan birokrasi. Etika administrasi dimak-sudkan untuk mendorong agar birokrat menampilkan perilaku yang benar dan berguna.
3. Studi perilaku administrasi berguna:
a. menunjukkan apa yang harus dilakukan pada satu situasi tertentu;
b. memberikan deskripsi lingkungan di mana organisasi bergerak;
c. memberikan kerangka konseptual untuk memecahkan masalah-masalah organisasi
4. Perhatian pada elemen manusia ditujukan untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan organisasi dan individu. Kecenderungan baru yang terdapat dalam administrasi kepegawaian adalah dorongan menumbuhkan partisipasi para pekerja dalam proses pembuatan keputusan.
5. Administrasi keuangan pada tingkat nasional dipandang sebagai issue politik dan sosial. Administrasi keuangan merupakan alat paling penting dalam kehidupan negara. Karena kemampuannya untuk berfungsi sebagai alat koordinasi.
Studi Perbandingan dan Pengembangan
1. Administrasi Pemerintah Daerah berusaha menganalisis pemerintah daerah sebagai fenomena ad inistrasi, sebagai satu bagian penting dalam kehidupan kenegaraan, di mana sistem administrasi pemerintah daerah amat dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional faktor-faktor lingkungan.
2. Perbandingan Administrasi Negara sebagai pendatang baru dalam dunia akademik kelahirannya didorong untuk mencapai dua tujuan sekaligus, yakni: untuk memberikan bobot ilmiah bagi administrasi negara, dan untuk membuat agar semua program bantuan teknis berhasil.
3. Kegiatan-kegiatan dalam rangka studi Organisasi dan Metode meliput tiga hal berikut: penyelidikan organisasi, penyempurnaan metode, dan penelaahan tata ruang.
4. Usaha pengembangan/pelembagaan organisasi adalah suatu usaha untuk memperbaiki efektivitas dan kesehatan organisasi dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan perilaku. Pengembangan/pelembagaan organisasi dipandang sebagai analisis segi kemanusiaan dalam seluruh kehidupan organisasi.
5. Perkembangan masyarakat yang semakin kompleks mendorong tumbuhnya studi administrasi terhadap bidang-bidang khusus. Tujuannya adalah untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi.
MASALAH TEORI ADMINISTRASI NEGARA
Pengertian Teori Administrasi Negara
1. Yang dimaksudkan dengan teori administrasi negara adalah serangkaian usaha untuk melakukan konseptualisasi mengenai apakah yang dimaksudkan dengan administrasi negara, bagaimana caranya memperbaiki hal-hal yang dikerjakan oleh administrasi negara, bagaimana menentukan apa yang harus dikerjakan oleh administrator publik, mengapa orang berperilaku tertentu dalam suatu situasi administrasi, dan dengan cara apakah aparatur pemerintah disusun dan dikoordinasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Salah satu alasan utama mengapa orang mempersoalkan status keilmuan administrasi negara, adalah karena administrasi negara tidak mempunyai inti-teoritis. Banyak teori dalam administrasi negara, tetapi tidak ada teori dari administrasi negara.
3. Para praktisi menggunakan teori administrasi dalam kerangka untuk memberikan rasionale (alasan) dari kegiatan praktis mereka dan untuk membenarkan praktek administrasinya.
4. Administrasi negara baru saja, secara sistematik, mengembangkan teori-teorinya. Arti pentingnya teori administrasi negara terlihat dari kegunaannya untuk meramalkan dan menerangkan gejala administrasi.
Jenis-jenis Teori Administrasi Negara
1. Ada berbagai macam teori administrasi negara yang dikemukakan oleh para ahli. Misalnya yang diajukan oleh:
a) William L Morrow, yang menyebutkan teori administrasi negara terdiri dari:
1. teori deskriptif
2. teori preskriptif
3. teori normatif
4. teori asumtif
5. teori instrumental
b) Stephen P. Robbins, yang mengajukan lima teori administrasi, sebagai berikut:
6. teori hubungan manusia
7. teori pengambilan keputusan
8. teori perilaku
9. teori sistem
10. teori kontingensi
c) Stephen K. Bailey, mengajukan empat teori administrasi negara, sebagai berikut:
11. teori deskriptif
12. teori normatif
13. teori asumtif
14. teori instrumental
2. Empat kategori teori administrasi negara yang dikemukakan oleh Bailey, diangkat dari upaya-upaya yang telah dilakukan untuk memperbaiki proses pemerintahan. Setiap kategori teori tersebut mempunyai pusat perhatian yang berbeda satu sama lain. Teori deskriptif berkaitan dengan soal “apa” dan “mengapa”; teori normatif berkenaan dengan soal “apa yang seharusnya” dan “apa yang baik”; teori asumtif berhubungan dengan soal “pre-kondisi” dan “kemungkinan-kemungkinan”; sedangkan teori instrumental berkenaan dengan soal “bagaimana”dan “kapan”.
Mazhab-mazhab Teori Administrasi Negara
1. Menurut C.L. Sharma ada enam mazhab teori administrasi negara, yakni: mazhab proses administrasi, empirik, perilaku manusia, sistem sosial, matematika, dan teori keputusan.
2. Gerald Caiden mengemukakan delapan mazhab teori administrasi negara, yang terdiri dari: mazhab proses administrasi, empirik, perilaku manusia, analisis birokratik, sistem sosial, pembuatan keputusan, matematika, dan integrasi.
3. Kedelapan mazhab teori administrasi negara seperti yang dikemukakan oleh Caiden, sebenarnya dapat dikelompokkan lagi dalam dua mazhab: mazhab reduksi proses administrasi dan mazhab sistem holistik administrasi. Tetapi pengelompokan ini juga tidak memuaskan, yang pada gilirannya melahirkan mazhab integrasi.
4. Para pendukung mazhab integrasi (integrationis) bermaksud untuk mengintegrasikan semua teori administrasi negara. Ada dua strategi yang mereka tempuh. Pertama dengan melakukan konsolidasi teori-teori administrasi, dan kedua dengan meleburkan semua administrasi negara menjadi satu teori yang tertinggi.
KEBIJAKSANAAN PUBLIK DAN AKUNTABILITAS ADMINISTRASI
Dasar-dasar Kebijaksanaan Publik
1. Studi kebijaksanaan publik merupakan dimensi baru dalam administrasi negara, yang harus tumbuh dengan cepat.
2. Pada umumnya kebijaksanaan publik dimaksudkan sebagai apa yang dilakukan dan apa yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Ada tiga faktor yang mengeratkan hubungan kebijaksanaan publik dengan institusi pemerintah:
a. Pemerintah yang memberikan legitimasi pada kebijaksanaan publik
b. Kebijaksanaan publik mengandung aspek yang bersifat universal
c. Pemerintah merupakan satu-satunya lembaga yang dapat melakukan pemaksaan kepada masyarakat.
3. Dasar pembentukan kebijaksanaan publik adalah kepentingan publik. Tetapi, tidak mudah untuk merumuskan apa dan manakah suatu kepentingan yang benar-benar bersifat publik. Karena itu, dikatakan bahwa kepentingan publik adalah kepentingan-kepentingan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Atas dasar pandangan demikian, kebijaksanaan publik tidak hanya dibuat oleh pemerintah saja, tetapi dapat juga dibuat oleh organisasi-organisasi lain.
4. Model-model analisis yang dipergunakan untuk menganalisis kebijaksanaan publik menurut Thomas R. Dye adalah model: a. Sistem b. Massa Elit c. Kelompok d. Rasional e. Inkremental f. Institusional. Sedang menurut Robert Presthus pendekatan-pendekatan dalam analisis kebijaksanaan publik terdiri dari: a. Kebijaksanaan sebagai Proses Hasil b. Studi Kasus c. Strategi Inkremental Terpisah
d. Kebijaksanaan sebagai, variabel Independen.
Proses Kebijaksanaan Publik
1. Tahap yang ada dalam proses kebijaksanaan publik, menurut Anderson terdiri dari: formasi masalah, formulasi kebijaksanaan, adopsi kebijaksanaan, implementasi kebijaksanaan, dan evaluasi kebijaksanaan; menurut Jones proses kebijaksanaan publik terdiri dari: persepsi, definisi, agregasi, organisasi, evaluasi, dan terminasi kebijaksanaan; menurut Brewer tahap-tahap dalam proses kebijaksanaan publik adalah: estimasi, seleksi, implementasi, evaluasi dan terminasi kebijaksanaan; menurut Mc Nichols proses kebijaksanaan publik terdiri dari: tahap formulasi, tahap implementasi, tahap organisasi, tahap interpretasi, dan tahap reformulasi. Modul ini memandang proses kebijaksanaan publik terdiri dari empat tahap berikut: formulasi kebijaksanaan, implementasi kebijaksanaan, evaluasi kebijaksanaan, dan terminasi kebijaksanaan.
2. Formulasi kebijaksanaan membahas cara masalah publik memperoleh perhatian dari pembuat kebijaksanaan, cara perumusan usul kebijaksanaan, dan cara memilih salah satu usul kebijaksanaan di antara alternatif-alternatif. Formulasi kebijaksanaan sangat erat hubungannya dengan konsep kepentingan publik.
3. Implementasi kebijaksanaan menunjuk pada pelaksanaan kebijaksanaan publik secara etektif. Kesulitan yang timbul dalam tahap ini adalah sukarnya menentukan hasil kebijaksanaan, karena adanya dampak yang tidak teran-tisipasi sebelumnya.
4. Evaluasi kebijaksanaan dimaksudkan untuk mengukur efektifitas dan dampak kebijaksanaan. Alat yang dapat dipergunakan antara lain “performance budgeting”, “program budgeting” dan PPBS. Untuk melaksanakan evaluasi kebijaksanaan diperlukan standar pengukuran yang baku. Tetapi dalam kenyataannya indikator-indikator yang dipergunakan tidak sepenuhnya mampu menerangkan kualitas penampilan program.
5. Terminasi kebijaksanaan menunjuk proses penyelesaian satu kebijaksanaan. Hal ini timbul, jika tujuan kebijaksanaan sudah tiada. Ada pelbagai hambatan dalam melakukan terminasi kebijaksanaan. Cara-cara untuk mengatasi hambatan ini adalah kebijaksanaan memberikan rangsangan, dan melakukan identifikasi terhadap titik rawan yang mengalami terminasi.
Akuntabilitas Administrasi
1. Ada dua istilah yang seringkali digunakan saling berganti dalam studi administrasi negara, yakni: pertanggungan jawab dan akuntabilitas. Sebenarnya, keduanya dapat dibedakan. Akuntabilitas menunjuk locus hierarkis dan legal dari tanggung jawab. Sedang tanggung jawab mempunyai konotasi personal, moral, dan tidak perlu dihubungkan dengan peranan, status, dan kekuasaan yang bersifat formal.
2. Akuntabiiitas administrasi merupakan hal pokok dalam pikiran-pikiran negara demokratik modern. Ia mengesankan sebagai suatu dasar moral bagi pejabat publik dalam melakukan kegiatannya.
3. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai apakah sistem administrasi berjalan secara bertanggung jawab. Pendekatan pertama memusatkan perhatiannya pada keseluruhan sistem; sedangkan pendekatan kedua berfokus pada pertanggungan jawab individual.
4. Sarana yang dapat dipergunakan untuk menjamin administrasi yang bertang-gung jawab adalah: sarana legal/institusional, moral dan politik.
1. Teori sistem merupakan kerangka konseptual atau satu cara pendekatan yang dipergunakan untuk menganalisis lingkungan atau gejala yang bersifat kompleks dan dinamis.
2. Pendekatan sistem, pertama melihat sesuatu secara keseluruhan. Baru kemudian mengamati bagian-bagiannya (sub-subsistem); di mana bagian-bagian (sub-subsistem) itu saling melakukan interaksi dan interrelasi.
3. Karakteristik sistem menurut Schoderbek terdiri dari: interrelasi, interdependensi, holisme, sasaran, masukan dan keluaran, transformasi, entropi, regulasi, hierarki, diferensiasi, dan ekuifinaliti. Sedang sarjana lain, menunjukkan bahwa karakteristik sistem terdiri dari masukan, proses, keluaran dan umpan balik.
4. Yang dimaksud dengan sistem administrasi negara adalah “struktur untuk mengalokasikan barang dan jasa dalam satu pemerintahan”. Karakteristik sistem administrasi negara terdiri dari masukan, proses/konversi, keluaran, dan umpan balik.
5. Studi ekologi dalam administrasi negara dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai administrasi negara yang sesuai dengan lingkungan penerimanya. Studi ekologi harus diterjemahkan sebagai satu cara pandang untuk mendekati hubungan sistem administrasi dengan faktor-faktor non-administrasi.
Sistem Administrasi Negara Indonesia
1. Sistem administrasi negara Indonesia haruslah diterjemahkan sebagai bagian integral dari sistem nasional.
2. Landasan, tujuan, dan asas sistem administrasi negara adalah sama dengan landasan, tujuan, dan asas sistem nasional, yang tertera dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
3. Penyempurnaan dan perbaikan terhadap sistem administrasi negara diarahkan untuk memperkuat kapasitas administrasi. Kegiatan ini merupakan satu proses rasionalisasi terhadap sistem administrasi, agar dapat memenuhi fungsinya sebagai instrumen pembangunan dan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
4. Selama Orde Baru telah dilakukan usaha-usaha yang konsisten untuk memperbaiki sistem administrasi negara.
Pengantar Ilmu Administrasi Negara
Studi Perilaku dan Sumber Daya
1. Pandangan filosofi mengenai administrasi negara dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: pandangan makro dan pandangan mikro.
2. Etika administrasi dibahas dalam hubunganya dengan masalah tujuan dan cara yang diperlakukan dalam lingkungan birokrasi. Etika administrasi dimak-sudkan untuk mendorong agar birokrat menampilkan perilaku yang benar dan berguna.
3. Studi perilaku administrasi berguna:
a. menunjukkan apa yang harus dilakukan pada satu situasi tertentu;
b. memberikan deskripsi lingkungan di mana organisasi bergerak;
c. memberikan kerangka konseptual untuk memecahkan masalah-masalah organisasi
4. Perhatian pada elemen manusia ditujukan untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan organisasi dan individu. Kecenderungan baru yang terdapat dalam administrasi kepegawaian adalah dorongan menumbuhkan partisipasi para pekerja dalam proses pembuatan keputusan.
5. Administrasi keuangan pada tingkat nasional dipandang sebagai issue politik dan sosial. Administrasi keuangan merupakan alat paling penting dalam kehidupan negara. Karena kemampuannya untuk berfungsi sebagai alat koordinasi.
Studi Perbandingan dan Pengembangan
1. Administrasi Pemerintah Daerah berusaha menganalisis pemerintah daerah sebagai fenomena ad inistrasi, sebagai satu bagian penting dalam kehidupan kenegaraan, di mana sistem administrasi pemerintah daerah amat dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional faktor-faktor lingkungan.
2. Perbandingan Administrasi Negara sebagai pendatang baru dalam dunia akademik kelahirannya didorong untuk mencapai dua tujuan sekaligus, yakni: untuk memberikan bobot ilmiah bagi administrasi negara, dan untuk membuat agar semua program bantuan teknis berhasil.
3. Kegiatan-kegiatan dalam rangka studi Organisasi dan Metode meliput tiga hal berikut: penyelidikan organisasi, penyempurnaan metode, dan penelaahan tata ruang.
4. Usaha pengembangan/pelembagaan organisasi adalah suatu usaha untuk memperbaiki efektivitas dan kesehatan organisasi dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan perilaku. Pengembangan/pelembagaan organisasi dipandang sebagai analisis segi kemanusiaan dalam seluruh kehidupan organisasi.
5. Perkembangan masyarakat yang semakin kompleks mendorong tumbuhnya studi administrasi terhadap bidang-bidang khusus. Tujuannya adalah untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi.
MASALAH TEORI ADMINISTRASI NEGARA
Pengertian Teori Administrasi Negara
1. Yang dimaksudkan dengan teori administrasi negara adalah serangkaian usaha untuk melakukan konseptualisasi mengenai apakah yang dimaksudkan dengan administrasi negara, bagaimana caranya memperbaiki hal-hal yang dikerjakan oleh administrasi negara, bagaimana menentukan apa yang harus dikerjakan oleh administrator publik, mengapa orang berperilaku tertentu dalam suatu situasi administrasi, dan dengan cara apakah aparatur pemerintah disusun dan dikoordinasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Salah satu alasan utama mengapa orang mempersoalkan status keilmuan administrasi negara, adalah karena administrasi negara tidak mempunyai inti-teoritis. Banyak teori dalam administrasi negara, tetapi tidak ada teori dari administrasi negara.
3. Para praktisi menggunakan teori administrasi dalam kerangka untuk memberikan rasionale (alasan) dari kegiatan praktis mereka dan untuk membenarkan praktek administrasinya.
4. Administrasi negara baru saja, secara sistematik, mengembangkan teori-teorinya. Arti pentingnya teori administrasi negara terlihat dari kegunaannya untuk meramalkan dan menerangkan gejala administrasi.
Jenis-jenis Teori Administrasi Negara
1. Ada berbagai macam teori administrasi negara yang dikemukakan oleh para ahli. Misalnya yang diajukan oleh:
a) William L Morrow, yang menyebutkan teori administrasi negara terdiri dari:
1. teori deskriptif
2. teori preskriptif
3. teori normatif
4. teori asumtif
5. teori instrumental
b) Stephen P. Robbins, yang mengajukan lima teori administrasi, sebagai berikut:
6. teori hubungan manusia
7. teori pengambilan keputusan
8. teori perilaku
9. teori sistem
10. teori kontingensi
c) Stephen K. Bailey, mengajukan empat teori administrasi negara, sebagai berikut:
11. teori deskriptif
12. teori normatif
13. teori asumtif
14. teori instrumental
2. Empat kategori teori administrasi negara yang dikemukakan oleh Bailey, diangkat dari upaya-upaya yang telah dilakukan untuk memperbaiki proses pemerintahan. Setiap kategori teori tersebut mempunyai pusat perhatian yang berbeda satu sama lain. Teori deskriptif berkaitan dengan soal “apa” dan “mengapa”; teori normatif berkenaan dengan soal “apa yang seharusnya” dan “apa yang baik”; teori asumtif berhubungan dengan soal “pre-kondisi” dan “kemungkinan-kemungkinan”; sedangkan teori instrumental berkenaan dengan soal “bagaimana”dan “kapan”.
Mazhab-mazhab Teori Administrasi Negara
1. Menurut C.L. Sharma ada enam mazhab teori administrasi negara, yakni: mazhab proses administrasi, empirik, perilaku manusia, sistem sosial, matematika, dan teori keputusan.
2. Gerald Caiden mengemukakan delapan mazhab teori administrasi negara, yang terdiri dari: mazhab proses administrasi, empirik, perilaku manusia, analisis birokratik, sistem sosial, pembuatan keputusan, matematika, dan integrasi.
3. Kedelapan mazhab teori administrasi negara seperti yang dikemukakan oleh Caiden, sebenarnya dapat dikelompokkan lagi dalam dua mazhab: mazhab reduksi proses administrasi dan mazhab sistem holistik administrasi. Tetapi pengelompokan ini juga tidak memuaskan, yang pada gilirannya melahirkan mazhab integrasi.
4. Para pendukung mazhab integrasi (integrationis) bermaksud untuk mengintegrasikan semua teori administrasi negara. Ada dua strategi yang mereka tempuh. Pertama dengan melakukan konsolidasi teori-teori administrasi, dan kedua dengan meleburkan semua administrasi negara menjadi satu teori yang tertinggi.
KEBIJAKSANAAN PUBLIK DAN AKUNTABILITAS ADMINISTRASI
Dasar-dasar Kebijaksanaan Publik
1. Studi kebijaksanaan publik merupakan dimensi baru dalam administrasi negara, yang harus tumbuh dengan cepat.
2. Pada umumnya kebijaksanaan publik dimaksudkan sebagai apa yang dilakukan dan apa yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Ada tiga faktor yang mengeratkan hubungan kebijaksanaan publik dengan institusi pemerintah:
a. Pemerintah yang memberikan legitimasi pada kebijaksanaan publik
b. Kebijaksanaan publik mengandung aspek yang bersifat universal
c. Pemerintah merupakan satu-satunya lembaga yang dapat melakukan pemaksaan kepada masyarakat.
3. Dasar pembentukan kebijaksanaan publik adalah kepentingan publik. Tetapi, tidak mudah untuk merumuskan apa dan manakah suatu kepentingan yang benar-benar bersifat publik. Karena itu, dikatakan bahwa kepentingan publik adalah kepentingan-kepentingan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Atas dasar pandangan demikian, kebijaksanaan publik tidak hanya dibuat oleh pemerintah saja, tetapi dapat juga dibuat oleh organisasi-organisasi lain.
4. Model-model analisis yang dipergunakan untuk menganalisis kebijaksanaan publik menurut Thomas R. Dye adalah model: a. Sistem b. Massa Elit c. Kelompok d. Rasional e. Inkremental f. Institusional. Sedang menurut Robert Presthus pendekatan-pendekatan dalam analisis kebijaksanaan publik terdiri dari: a. Kebijaksanaan sebagai Proses Hasil b. Studi Kasus c. Strategi Inkremental Terpisah
d. Kebijaksanaan sebagai, variabel Independen.
Proses Kebijaksanaan Publik
1. Tahap yang ada dalam proses kebijaksanaan publik, menurut Anderson terdiri dari: formasi masalah, formulasi kebijaksanaan, adopsi kebijaksanaan, implementasi kebijaksanaan, dan evaluasi kebijaksanaan; menurut Jones proses kebijaksanaan publik terdiri dari: persepsi, definisi, agregasi, organisasi, evaluasi, dan terminasi kebijaksanaan; menurut Brewer tahap-tahap dalam proses kebijaksanaan publik adalah: estimasi, seleksi, implementasi, evaluasi dan terminasi kebijaksanaan; menurut Mc Nichols proses kebijaksanaan publik terdiri dari: tahap formulasi, tahap implementasi, tahap organisasi, tahap interpretasi, dan tahap reformulasi. Modul ini memandang proses kebijaksanaan publik terdiri dari empat tahap berikut: formulasi kebijaksanaan, implementasi kebijaksanaan, evaluasi kebijaksanaan, dan terminasi kebijaksanaan.
2. Formulasi kebijaksanaan membahas cara masalah publik memperoleh perhatian dari pembuat kebijaksanaan, cara perumusan usul kebijaksanaan, dan cara memilih salah satu usul kebijaksanaan di antara alternatif-alternatif. Formulasi kebijaksanaan sangat erat hubungannya dengan konsep kepentingan publik.
3. Implementasi kebijaksanaan menunjuk pada pelaksanaan kebijaksanaan publik secara etektif. Kesulitan yang timbul dalam tahap ini adalah sukarnya menentukan hasil kebijaksanaan, karena adanya dampak yang tidak teran-tisipasi sebelumnya.
4. Evaluasi kebijaksanaan dimaksudkan untuk mengukur efektifitas dan dampak kebijaksanaan. Alat yang dapat dipergunakan antara lain “performance budgeting”, “program budgeting” dan PPBS. Untuk melaksanakan evaluasi kebijaksanaan diperlukan standar pengukuran yang baku. Tetapi dalam kenyataannya indikator-indikator yang dipergunakan tidak sepenuhnya mampu menerangkan kualitas penampilan program.
5. Terminasi kebijaksanaan menunjuk proses penyelesaian satu kebijaksanaan. Hal ini timbul, jika tujuan kebijaksanaan sudah tiada. Ada pelbagai hambatan dalam melakukan terminasi kebijaksanaan. Cara-cara untuk mengatasi hambatan ini adalah kebijaksanaan memberikan rangsangan, dan melakukan identifikasi terhadap titik rawan yang mengalami terminasi.
Akuntabilitas Administrasi
1. Ada dua istilah yang seringkali digunakan saling berganti dalam studi administrasi negara, yakni: pertanggungan jawab dan akuntabilitas. Sebenarnya, keduanya dapat dibedakan. Akuntabilitas menunjuk locus hierarkis dan legal dari tanggung jawab. Sedang tanggung jawab mempunyai konotasi personal, moral, dan tidak perlu dihubungkan dengan peranan, status, dan kekuasaan yang bersifat formal.
2. Akuntabiiitas administrasi merupakan hal pokok dalam pikiran-pikiran negara demokratik modern. Ia mengesankan sebagai suatu dasar moral bagi pejabat publik dalam melakukan kegiatannya.
3. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai apakah sistem administrasi berjalan secara bertanggung jawab. Pendekatan pertama memusatkan perhatiannya pada keseluruhan sistem; sedangkan pendekatan kedua berfokus pada pertanggungan jawab individual.
4. Sarana yang dapat dipergunakan untuk menjamin administrasi yang bertang-gung jawab adalah: sarana legal/institusional, moral dan politik.
Dasar dan Struktur Penerimaan Pemerintah/Negara
A. Sumber-sumber penerimaan negara:
Sumber-sumber penerimaan Negara diperoleh dari :
1. Pajak yaitu pembayaran iuran oleh rakyat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa yang secara langsung dapat ditunjuk.
2. Retribusi yaitu suatu pembayaran dari rakyat kepada pemerintah dimana kita dapat melihat adanya hubungan antara balas jasa yang langsung diterima dengan adanya pembayaran retribusi tersebut.
3. Keuntungan dari perusahaan-perusahaan negara. Penerimaan yang berasal dari sumber ini merupakan penerimaan-penerimaan pemerintah dari hasil penjualan (harga) barang-barang yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan negara.
4. Denda-denda dan perampasan yang dijalankan oleh pemerintah.
5. Sumbangan masyarakat untuk jasa-jasa yang diberikan oleh pemerintah seperti pembayaran biaya-biaya perijinan (lisensi)
6. Pencetakan uang kertas. Pemerintah mempunyai kekuasaan untuk mencetak uang kertas sendiri atau meminta kepada Bank Sentral guna memberikan pinjaman kepada pemerintah walaupun tanpa suatu deking.
7. Hasil dari undian negara. Dengan undian negara, pemerintah akan mendapatkan dana yaitu perbedaan antara jumlah penerimaan dari lembaran surat undian yang dapat dijual dengan semua pengeluaran-pengeluarannya termasuk hadiah yang diberikan kepada pemenang dari undian negara tersebut.
8. Pinjaman. Pinjaman ini dapat berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
9. Hadiah. Sumber dana jenis ini dapat terjadi seperti pemerintah pusat memberikan hadiah kepada pemerintah daerah, atau dari swasta kepada pemerintah dan dapat pula terjadi dari pemerintah suatu negara kepada pemerintah negara lain.
Sumber-sumber penerimaan Negara diperoleh dari :
1. Pajak yaitu pembayaran iuran oleh rakyat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa yang secara langsung dapat ditunjuk.
2. Retribusi yaitu suatu pembayaran dari rakyat kepada pemerintah dimana kita dapat melihat adanya hubungan antara balas jasa yang langsung diterima dengan adanya pembayaran retribusi tersebut.
3. Keuntungan dari perusahaan-perusahaan negara. Penerimaan yang berasal dari sumber ini merupakan penerimaan-penerimaan pemerintah dari hasil penjualan (harga) barang-barang yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan negara.
4. Denda-denda dan perampasan yang dijalankan oleh pemerintah.
5. Sumbangan masyarakat untuk jasa-jasa yang diberikan oleh pemerintah seperti pembayaran biaya-biaya perijinan (lisensi)
6. Pencetakan uang kertas. Pemerintah mempunyai kekuasaan untuk mencetak uang kertas sendiri atau meminta kepada Bank Sentral guna memberikan pinjaman kepada pemerintah walaupun tanpa suatu deking.
7. Hasil dari undian negara. Dengan undian negara, pemerintah akan mendapatkan dana yaitu perbedaan antara jumlah penerimaan dari lembaran surat undian yang dapat dijual dengan semua pengeluaran-pengeluarannya termasuk hadiah yang diberikan kepada pemenang dari undian negara tersebut.
8. Pinjaman. Pinjaman ini dapat berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
9. Hadiah. Sumber dana jenis ini dapat terjadi seperti pemerintah pusat memberikan hadiah kepada pemerintah daerah, atau dari swasta kepada pemerintah dan dapat pula terjadi dari pemerintah suatu negara kepada pemerintah negara lain.
Tiga Sumber dan Tiga Komponen Marxisme [1] V.I. Lenin (1913)
Sumber: Dari Collected Works, Volume 19, pp. 23-28.
Penerjemah: Thanks to Lembaga Penerbitan, Pendidikan, dan Pengembangan Pers Mahasiswa (LP4M) and Situs Indo-Marxist – Situs Kaum Marxist Indonesia for allowing us to copy this text.
________________________________________
Di segenap penjuru dunia yang beradab, ajaran-ajaran Marx ditentang dan diperangi oleh semua ilmu pengetahuan borjuis (baik yang resmimaupun yang liberal), yang memandang Marxisme semacam sekte yang jahat. Tidak bisa diharapkan adanya sikap lain, karena tidak ada ilmu sosial yang netral dalam suatu masyarakat yang berbasiskan perjuangan kelas. Lewat satu dan lain cara, semua ilmu pengetahuan borjuis, yang resmi dan liberal, membela perbudakan upahan (wage slavery). Sedangkan Marxisme telah jauh-jauh hari menyatakan perang tanpa henti terhadap perbudakan itu. Mengharapkan sikap netral dari ilmu pengetahuan dalam masyarakat perbudakan upahan adalah bodoh, sama naifnya dengan mengharapkan sikap netral dari para pemilik pabrik dalam menghadapi pertanyaan apakah upah buruh dapat dinaikkan tanpa mengurangi keuntungan modal.
Tapi bukan hanya itu. Sejarah filosofi dan sejarah ilmu-ilmu sosial memperlihatkan dengan jelas bahwa dalam Marxisme tidak terdapat adanya sektarianisme. Tidak terdapat adanya doktrin-doktrin yang sempit dan picik , doktrin yang dibangun jauh dari jalan raya perkembangan peradaban dunia. Sebaliknya, si jenius Marx dengan tepat menempatkan jawaban-jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan oleh pikiran-pikiran termaju dari umat manusia. Doktrin-doktrinnya bangkit sebagai kelanjutan langsung dari ajaran-ajaran besar dalambidang filosofi, ekonomi-politik, dan sosialisme.
Doktrin-doktrin Marxist bersifat serba guna karena tingkat kebenarannya yang tinggi. Juga komplit dan harmonis, serta melengkapi kita dengan suatu pandangan dunia yang integral, yang tidak bisa dipersatukan dengan berbagai macam tahyul, reaksi, atau tekanan dari pihak borjuis. Marxisme merupakan penerus yang sah dari beberapa pemikiran besar umatmanusia dalam abad ke-19, yang direpresentasikan oleh filsafat klasik Jerman, ekonomi-politik Inggris dan sosialisme Prancis.
Inilah tiga sumber dari Marxisme, yang akan kita bahas secara ringkas beserta komponen-komponennya.
I
Filsafat yang dipakai Marxisme adalah materialisme. Sepanjang sejarah Eropa modern, dan khususnya pada akhir abad ke-18 di Prancis, di mana terdapat perjuangan yang gigih terhadap berbagai sampah dari abad pertengahan, terhadap perhambaan dalam berbagai lembaga dan gagasan, materialisme terbukti merupakan satu-satunya filosofi yang konsisten, benar terhadap setiap cabang ilmu alam dan dengan gigih memerangi berbagai bentuk tahyul, penyimpangan dan seterusnya. Musuh-musuh demokrasi selalu berusaha untuk menyangkal, mencemari dan memfitnah materialisme, membela berbagai bentuk filosofi idealisme, yang selalu,dengan satu dan lain cara, menggunakan agama untuk memerangi materialisme.
Marx dan Engels membela filosofi materialisme dengan tekun dan berulangkali menjelaskan bagaimana kekeliruan terdahulu merupakan penyimpangan dari basis ini. Pandangan-pandangan mereka dijelaskansecara panjang lebar dalam karya Engels, Ludwig Feuerbach dan Anti-Duehring, [2] yang seperti halnya Communist Manifesto, merupakan buku-buku peganganbagi setiap pekerja yang memiliki kesadaran kelas.
Tetapi Marx tidak berhenti pada materialisme abad 18, ia mengembangkannya lebih jauh, ke tingkat yang lebih tinggi. Marx memperkaya materialisme dengan penemuan-penemuan dari filosofi klasik Jerman, khususnya sistem Hegel, yang kemudian mengarah kepada pemikiran Feuerbach. Penemuan yang paling penting adalah dialektika, yaitu doktrin tentang perkembangan dalam bentuknya yang paling padat, paling dalam dan amat komprehensif. Doktrin tentang relativitas pengetahuan manusia yang melengkapi kita dengan suatu refleksi terhadap materi-materi yang terus berkembang. Penemuan-penemuan terbaru dalam bidang ilmu alam: radium, elektron, transmutasi elemen,merupakan bukti nyata dari materialisme dialektis yang diajarkan Marx, berbeda dengan dengan ajaran-ajaran para filosof borjuis dengan idealisme mereka yang telah usang dan dekaden.
Marx memperdalam dan mengembangkan filosofi materialisme sepenuhnya, serta memperluas pengenalan terhadap alam dengan memasukkan pengenalan terhadap masyarakat manusia. Materialisme Historisnya yang dialektis merupakan pencapaian besar dalam pemikiran ilmiah. Kekacauan yang merajalela dalam berbagai pandangan sejarah dan politik digantikan dengan suatu teori ilmiah yang amat integral dan harmonis, yang memperlihatkan bagaimana, dalam konsekwensinya dengan pertumbuhan kekuatan-kekuatan produktif, suatu sistem kehidupan sosial muncul darisistem kehidupan sosial yang ada sebelumnya dan berkembang melalui berbagai tahapan. Contoh kongkretnya: kapitalisme yang muncul dari feodalisme.
Seperti halnya pengetahuan manusia merefleksikan alam (yang merupakan materi yang berkembang), yang keberadaannya tidak tergantung dari manusia, begitu pula pengetahuan sosial (berbagai pandangan dandoktrin yang dihasilkan manusia: filosofi, agama, politik, dan seterusnya) merefleksikan sistem ekonomi dari masyarakat. Berbagai lembaga politik merupakan superstruktur di atas fondasi ekonomi. Kita melihat, sebagai contoh, bahwa berbagai bentuk politis dari negara-negara Eropa modern memperkuat dominasi pihak borjuasi terhadap pihak proletariat.
Filosofinya Marx merupakan filosofi materialisme terapan, yang mana membekali umat manusia, khususnya kelas pekerja, dengan alat-alat pengetahuan yang ampuh.
II
Setelah menyadari bahwa sistem ekonomi merupakan fondasi, yang di atasnya superstruktur politik didirikan, Marx mencurahkan sebagianbesar perhatiannya untuk mempelajari sistem ekonomi ini. Karya Marx yang prinsipal, Das Kapital, merupakan hasil studinya yang mendalam terhadap sistem ekonomi modern: kapitalisme.
Ekonomi politik yang klasik, sebelum Marx, berkembang di Inggris, negeri kapitalis yang paling maju saat itu. Adam Smith dan David Ricardo, dengan investigasi mereka terhadap sistem ekonomi, meletakkan dasar-dasar dari teori nilai kerja. Marx melanjutkan karya mereka, ia menguji teori itu dan mengembangkannya secara konsisten. Ia melihat bahwa nilai dari setiap komoditi ditentukan oleh kuantitas waktu kerja yang diharuskan secara sosial, yang digunakan untuk memproduksi komoditi itu.
Jika para ahli ekonomi borjuis melihat hubungan antar-benda (pertukaran antar-komoditi), Marx memperhatikan hubungan antar-manusia. Pertukaran komoditi mencerminkan hubungan-hubungan di antara para produser individual yang terjalin melalui pasar. Uang memperlihatkan bahwa hubungan itu menjadi semakin erat, yang tanpa terpisahkan menyatukan seluruh kehidupan ekonomi dari para produser. Modal (kapital) memperlihatkan suatu perkembangan lanjutan dari hubungan ini: tenaga kerja manusia menjadi suatu komoditi. Para pekerja upahan menjual tenaga kerjanya kepada para pemilik tanah, pemilik pabrik dan alat-alat kerja. Seorang pekerja menggunakan sebagian waktu kerjanya untuk menutup biaya hidupnya dan keluarganya (mendapat upah), sebagian lain waktu kerjanya digunakan tanpa mendapat upah, semata-mata hanya mendatangkannilai lebih untuk para pemilik modal. Nilai lebih merupakan sumber keuntungan, sumber kemakmuran bagi kelas pemilik modal.
Doktrin tentang nilai lebih merupakan batu-penjuru dari teori ekonomi yang dikemukakan oleh Marx.
Modal, yang sebenarnya terbentuk dari hasil kerja para pekerja, justru menghantam para pekerja, memporakporandakan para pemilik modalkecil dan menciptakan barisan pengangguran. Dalam bidang industri, kemenangan produksi berskala besar segera tampak, tetapi gejala yang sama juga dapat dilihat pada bidang pertanian, di mana keunggulan pertanian bermodal besar semakin dikembangkan. Penggunaan mesin-mesin pertanian ditingkatkan, mengakibatkan ekonomi para petani kecil terjebak oleh modal-uang, kemudian jatuh dan hancur berantakan disebabkanteknik produksi yang kalah bersaing. Penurunan produksi berskala kecil mengambil bentuk-bentuk yang berbeda dalam bidang pertanian, akan tetapiproses penurunan itu sendiri merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan.
Dengan menghancurkan produksi berskala kecil, modal mendorong peningkatan produktivitas kerja dan menciptakan posisi monopoli bagi asosiasi kapitalis besar. Produksi itu sendiri menjadi semakin sosial – ratusan ribu, bahkan jutaan pekerja di-ikat dalam suatu organisme ekonomi reguler – tapi hasil dari kerja kolektif ini dinikmatioleh sekelompok pemilik modal. Anarki produksi, krisis, kekacauan harga pasaran, serta ancaman terhadap sebagian terbesar anggota masyarakat, semakin memburuk.
Dengan mengembangkan ketergantungan para pekerja pada modal, sistem ekonomi kapitalis menciptakan kekuatan besar dari persatuan parapekerja.
Marx menyelidiki perkembangan kapitalisme dari ekonomi komoditi tahap awal, dari pertukaran yang sederhana, hingga bentuk-bentuknyayang tertinggi, produksi berskala besar.
Dan dari pengalaman negeri-negeri kapitalis, yang lama dan baru, dari tahun ke tahun, terlihat dengan jelas kebenaran dari doktrin-doktrin Marxian ini.
Kapitalisme telah menang di seluruh dunia, tetapi kemenangan inihanyalah merupakan awal dari kemenangan para pekerja terhadap modal yang membelenggu mereka.
III
Ketika feodalisme tersingkir, dan masyarakat merdeka kapitalis muncul di dunia, maka muncullah suatu sistem untuk penindasan dan eksploitasi terhadap golongan pekerja. Berbagai doktrin sosialis segera muncul sebagai refleksi dari dan protes terhadap penindasan ini. Sosialisme pada awalnya, bagaimanapun, merupakan sosialisme utopis. Ia mengkritik masyarakat kapitalis, mengutuknya, memimpikan keruntuhan kapitalisme. Ia mempunyai gagasan akan adanya pemerintahan yang lebih baik. Ia berusaha membuktikan kepada orang-orang kaya bahwa eksploitasi itu tak bermoral.
Namun sosialisme utopis tidak memberikan solusi nyata. Ia tak dapatmenjelaskan sifat sebenarnya dari perbudakan upahan di bawah sistem kapitalisme. Ia tak mampu mengungkapkan hukum-hukum perkembangan kapitalis atau memperlihatkan kekuatan sosial apa yang mampu membentuk suatu masyarakat yang baru.
Sementara itu, berbagai revolusi terjadi di Eropa, khususnya di Prancis, mengiringi kejatuhan feodalisme, perhambaan, yang semakin lama semakin jelas mengungkapkan perjuangan kelas-kelas sebagai basisdan kekuatan pendorong dari semua perkembangan.
Setiap kemenangan politis atas feodalisme merupakan hasil dari perlawanan serentak dan tiba-tiba. Setiap negeri kapitalis berkembangdi atas basis yang kurang-lebih demokratis, diakibatkan adanya perjuangan hidup-mati di antara kelas-kelas yang ada dalam masyarakat kapitalistik.
Kejeniusan Marx adalah karena ia yang pertama kalinya menyimpulkan pelajaran sejarah dunia dengan tepat dan menerapkan pelajaran itu secara konsisten. Kesimpulan yang dibuatnya menjadi doktrin dari perjuangan kelas.
Rakyat selalu menjadi korban dari penipuan dan kemunafikan dunia politik, mereka akan selalu begitu sampai mereka mencoba mencari tahu apa kepentingan dari kelas-kelas yang ada dalam masyarakat, apa yangada di balik segala macam ajaran moral, agama dan janji-janji politik. Para pemenang dari proses reformasi dan pembangunan akan selalu terkecoh oleh para pendukung pemerintahan lama, sampai mereka menyadari bahwa setiap lembaga yang lama, sekeji apapun tampaknya, akan tetap dijalankan oleh kekuatan-kekuatan dari kelas-kelas tertentuyang berkuasa. Hanya ada satu kelompok yang mampu menghantam usaha perlawanan dari kelas-kelas itu, dan itu bisa ditemukan dalam masyarakat kita, kelompok yang mampu dan harus menggalang kekuatanuntuk perjuangan menyingkirkan yang lama dan mendirikan yang baru.
Filosofi materialisme yang dipaparkan Marx menunjukkan jalan bagi proletariat untuk bebas dari perbudakan spiritual yang membelenggu setiap kelas yang tertindas hingga kini. Teori ekonomi yang dijabarkan Marx menjelaskan posisi sebenarnya dari proletariat didalam sistem kapitalisme.
Organisasi-organisasi independen milik proletariat semakin bertambah banyak jumlahnya, dari Amerika hingga Jepang, dari Swedia hingga Afrika Selatan. Proletariat menjadi semakin tercerahkan dan terdidik dengan membiayai perjuangannya sendiri. Mereka membuktikan kesalahan tuduhan-tuduhan masyarakat borjuis; mereka terus memperbaiki strategi perjuangan, menggalang kekuatan dan tumbuh tanpa bisa ditahan.
Prosveshcheniye No. 3, Maret 1913.
Ditandatangani V.I. Lenin.
________________________________________
Catatan:
[1] Artikel ini ditulis oleh Lenin untuk memperingati 30 tahun kematian Marx dan dipublikasikan dalam Prosveshcheniye No. 3 tahun 1913. Prosveshcheniye (Pencerahan)—adalah terbitan teoritik bulanan kaum Bolshevik yagn diterbitkan secara legal di St.Petersburg mulai bulan Desember 1911 sampai Juni 1914. Oplahnya mencapai 5000 eksemplar. Lenin memimpin penerbitan ini dari luar negeri, awalnya di Paris, kemudian Cracow dan Poronin; dia mengedit artikel-artikelnya melalui korespondensi yang intense dengan para editor. Pada masa PD I majalah ini dibredel oleh rejim tsar. Kemudian terbit lagi pada musim gugur tahun 1917 tapi hanya sekali terbit.
[2] Referensinya adalah tulisan Engels Anti Duhring
________________________________________
Karya-karya V.I. Lenin | Séksi Bahasa Indonesia M.I.A.
Penerjemah: Thanks to Lembaga Penerbitan, Pendidikan, dan Pengembangan Pers Mahasiswa (LP4M) and Situs Indo-Marxist – Situs Kaum Marxist Indonesia for allowing us to copy this text.
________________________________________
Di segenap penjuru dunia yang beradab, ajaran-ajaran Marx ditentang dan diperangi oleh semua ilmu pengetahuan borjuis (baik yang resmimaupun yang liberal), yang memandang Marxisme semacam sekte yang jahat. Tidak bisa diharapkan adanya sikap lain, karena tidak ada ilmu sosial yang netral dalam suatu masyarakat yang berbasiskan perjuangan kelas. Lewat satu dan lain cara, semua ilmu pengetahuan borjuis, yang resmi dan liberal, membela perbudakan upahan (wage slavery). Sedangkan Marxisme telah jauh-jauh hari menyatakan perang tanpa henti terhadap perbudakan itu. Mengharapkan sikap netral dari ilmu pengetahuan dalam masyarakat perbudakan upahan adalah bodoh, sama naifnya dengan mengharapkan sikap netral dari para pemilik pabrik dalam menghadapi pertanyaan apakah upah buruh dapat dinaikkan tanpa mengurangi keuntungan modal.
Tapi bukan hanya itu. Sejarah filosofi dan sejarah ilmu-ilmu sosial memperlihatkan dengan jelas bahwa dalam Marxisme tidak terdapat adanya sektarianisme. Tidak terdapat adanya doktrin-doktrin yang sempit dan picik , doktrin yang dibangun jauh dari jalan raya perkembangan peradaban dunia. Sebaliknya, si jenius Marx dengan tepat menempatkan jawaban-jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan oleh pikiran-pikiran termaju dari umat manusia. Doktrin-doktrinnya bangkit sebagai kelanjutan langsung dari ajaran-ajaran besar dalambidang filosofi, ekonomi-politik, dan sosialisme.
Doktrin-doktrin Marxist bersifat serba guna karena tingkat kebenarannya yang tinggi. Juga komplit dan harmonis, serta melengkapi kita dengan suatu pandangan dunia yang integral, yang tidak bisa dipersatukan dengan berbagai macam tahyul, reaksi, atau tekanan dari pihak borjuis. Marxisme merupakan penerus yang sah dari beberapa pemikiran besar umatmanusia dalam abad ke-19, yang direpresentasikan oleh filsafat klasik Jerman, ekonomi-politik Inggris dan sosialisme Prancis.
Inilah tiga sumber dari Marxisme, yang akan kita bahas secara ringkas beserta komponen-komponennya.
I
Filsafat yang dipakai Marxisme adalah materialisme. Sepanjang sejarah Eropa modern, dan khususnya pada akhir abad ke-18 di Prancis, di mana terdapat perjuangan yang gigih terhadap berbagai sampah dari abad pertengahan, terhadap perhambaan dalam berbagai lembaga dan gagasan, materialisme terbukti merupakan satu-satunya filosofi yang konsisten, benar terhadap setiap cabang ilmu alam dan dengan gigih memerangi berbagai bentuk tahyul, penyimpangan dan seterusnya. Musuh-musuh demokrasi selalu berusaha untuk menyangkal, mencemari dan memfitnah materialisme, membela berbagai bentuk filosofi idealisme, yang selalu,dengan satu dan lain cara, menggunakan agama untuk memerangi materialisme.
Marx dan Engels membela filosofi materialisme dengan tekun dan berulangkali menjelaskan bagaimana kekeliruan terdahulu merupakan penyimpangan dari basis ini. Pandangan-pandangan mereka dijelaskansecara panjang lebar dalam karya Engels, Ludwig Feuerbach dan Anti-Duehring, [2] yang seperti halnya Communist Manifesto, merupakan buku-buku peganganbagi setiap pekerja yang memiliki kesadaran kelas.
Tetapi Marx tidak berhenti pada materialisme abad 18, ia mengembangkannya lebih jauh, ke tingkat yang lebih tinggi. Marx memperkaya materialisme dengan penemuan-penemuan dari filosofi klasik Jerman, khususnya sistem Hegel, yang kemudian mengarah kepada pemikiran Feuerbach. Penemuan yang paling penting adalah dialektika, yaitu doktrin tentang perkembangan dalam bentuknya yang paling padat, paling dalam dan amat komprehensif. Doktrin tentang relativitas pengetahuan manusia yang melengkapi kita dengan suatu refleksi terhadap materi-materi yang terus berkembang. Penemuan-penemuan terbaru dalam bidang ilmu alam: radium, elektron, transmutasi elemen,merupakan bukti nyata dari materialisme dialektis yang diajarkan Marx, berbeda dengan dengan ajaran-ajaran para filosof borjuis dengan idealisme mereka yang telah usang dan dekaden.
Marx memperdalam dan mengembangkan filosofi materialisme sepenuhnya, serta memperluas pengenalan terhadap alam dengan memasukkan pengenalan terhadap masyarakat manusia. Materialisme Historisnya yang dialektis merupakan pencapaian besar dalam pemikiran ilmiah. Kekacauan yang merajalela dalam berbagai pandangan sejarah dan politik digantikan dengan suatu teori ilmiah yang amat integral dan harmonis, yang memperlihatkan bagaimana, dalam konsekwensinya dengan pertumbuhan kekuatan-kekuatan produktif, suatu sistem kehidupan sosial muncul darisistem kehidupan sosial yang ada sebelumnya dan berkembang melalui berbagai tahapan. Contoh kongkretnya: kapitalisme yang muncul dari feodalisme.
Seperti halnya pengetahuan manusia merefleksikan alam (yang merupakan materi yang berkembang), yang keberadaannya tidak tergantung dari manusia, begitu pula pengetahuan sosial (berbagai pandangan dandoktrin yang dihasilkan manusia: filosofi, agama, politik, dan seterusnya) merefleksikan sistem ekonomi dari masyarakat. Berbagai lembaga politik merupakan superstruktur di atas fondasi ekonomi. Kita melihat, sebagai contoh, bahwa berbagai bentuk politis dari negara-negara Eropa modern memperkuat dominasi pihak borjuasi terhadap pihak proletariat.
Filosofinya Marx merupakan filosofi materialisme terapan, yang mana membekali umat manusia, khususnya kelas pekerja, dengan alat-alat pengetahuan yang ampuh.
II
Setelah menyadari bahwa sistem ekonomi merupakan fondasi, yang di atasnya superstruktur politik didirikan, Marx mencurahkan sebagianbesar perhatiannya untuk mempelajari sistem ekonomi ini. Karya Marx yang prinsipal, Das Kapital, merupakan hasil studinya yang mendalam terhadap sistem ekonomi modern: kapitalisme.
Ekonomi politik yang klasik, sebelum Marx, berkembang di Inggris, negeri kapitalis yang paling maju saat itu. Adam Smith dan David Ricardo, dengan investigasi mereka terhadap sistem ekonomi, meletakkan dasar-dasar dari teori nilai kerja. Marx melanjutkan karya mereka, ia menguji teori itu dan mengembangkannya secara konsisten. Ia melihat bahwa nilai dari setiap komoditi ditentukan oleh kuantitas waktu kerja yang diharuskan secara sosial, yang digunakan untuk memproduksi komoditi itu.
Jika para ahli ekonomi borjuis melihat hubungan antar-benda (pertukaran antar-komoditi), Marx memperhatikan hubungan antar-manusia. Pertukaran komoditi mencerminkan hubungan-hubungan di antara para produser individual yang terjalin melalui pasar. Uang memperlihatkan bahwa hubungan itu menjadi semakin erat, yang tanpa terpisahkan menyatukan seluruh kehidupan ekonomi dari para produser. Modal (kapital) memperlihatkan suatu perkembangan lanjutan dari hubungan ini: tenaga kerja manusia menjadi suatu komoditi. Para pekerja upahan menjual tenaga kerjanya kepada para pemilik tanah, pemilik pabrik dan alat-alat kerja. Seorang pekerja menggunakan sebagian waktu kerjanya untuk menutup biaya hidupnya dan keluarganya (mendapat upah), sebagian lain waktu kerjanya digunakan tanpa mendapat upah, semata-mata hanya mendatangkannilai lebih untuk para pemilik modal. Nilai lebih merupakan sumber keuntungan, sumber kemakmuran bagi kelas pemilik modal.
Doktrin tentang nilai lebih merupakan batu-penjuru dari teori ekonomi yang dikemukakan oleh Marx.
Modal, yang sebenarnya terbentuk dari hasil kerja para pekerja, justru menghantam para pekerja, memporakporandakan para pemilik modalkecil dan menciptakan barisan pengangguran. Dalam bidang industri, kemenangan produksi berskala besar segera tampak, tetapi gejala yang sama juga dapat dilihat pada bidang pertanian, di mana keunggulan pertanian bermodal besar semakin dikembangkan. Penggunaan mesin-mesin pertanian ditingkatkan, mengakibatkan ekonomi para petani kecil terjebak oleh modal-uang, kemudian jatuh dan hancur berantakan disebabkanteknik produksi yang kalah bersaing. Penurunan produksi berskala kecil mengambil bentuk-bentuk yang berbeda dalam bidang pertanian, akan tetapiproses penurunan itu sendiri merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan.
Dengan menghancurkan produksi berskala kecil, modal mendorong peningkatan produktivitas kerja dan menciptakan posisi monopoli bagi asosiasi kapitalis besar. Produksi itu sendiri menjadi semakin sosial – ratusan ribu, bahkan jutaan pekerja di-ikat dalam suatu organisme ekonomi reguler – tapi hasil dari kerja kolektif ini dinikmatioleh sekelompok pemilik modal. Anarki produksi, krisis, kekacauan harga pasaran, serta ancaman terhadap sebagian terbesar anggota masyarakat, semakin memburuk.
Dengan mengembangkan ketergantungan para pekerja pada modal, sistem ekonomi kapitalis menciptakan kekuatan besar dari persatuan parapekerja.
Marx menyelidiki perkembangan kapitalisme dari ekonomi komoditi tahap awal, dari pertukaran yang sederhana, hingga bentuk-bentuknyayang tertinggi, produksi berskala besar.
Dan dari pengalaman negeri-negeri kapitalis, yang lama dan baru, dari tahun ke tahun, terlihat dengan jelas kebenaran dari doktrin-doktrin Marxian ini.
Kapitalisme telah menang di seluruh dunia, tetapi kemenangan inihanyalah merupakan awal dari kemenangan para pekerja terhadap modal yang membelenggu mereka.
III
Ketika feodalisme tersingkir, dan masyarakat merdeka kapitalis muncul di dunia, maka muncullah suatu sistem untuk penindasan dan eksploitasi terhadap golongan pekerja. Berbagai doktrin sosialis segera muncul sebagai refleksi dari dan protes terhadap penindasan ini. Sosialisme pada awalnya, bagaimanapun, merupakan sosialisme utopis. Ia mengkritik masyarakat kapitalis, mengutuknya, memimpikan keruntuhan kapitalisme. Ia mempunyai gagasan akan adanya pemerintahan yang lebih baik. Ia berusaha membuktikan kepada orang-orang kaya bahwa eksploitasi itu tak bermoral.
Namun sosialisme utopis tidak memberikan solusi nyata. Ia tak dapatmenjelaskan sifat sebenarnya dari perbudakan upahan di bawah sistem kapitalisme. Ia tak mampu mengungkapkan hukum-hukum perkembangan kapitalis atau memperlihatkan kekuatan sosial apa yang mampu membentuk suatu masyarakat yang baru.
Sementara itu, berbagai revolusi terjadi di Eropa, khususnya di Prancis, mengiringi kejatuhan feodalisme, perhambaan, yang semakin lama semakin jelas mengungkapkan perjuangan kelas-kelas sebagai basisdan kekuatan pendorong dari semua perkembangan.
Setiap kemenangan politis atas feodalisme merupakan hasil dari perlawanan serentak dan tiba-tiba. Setiap negeri kapitalis berkembangdi atas basis yang kurang-lebih demokratis, diakibatkan adanya perjuangan hidup-mati di antara kelas-kelas yang ada dalam masyarakat kapitalistik.
Kejeniusan Marx adalah karena ia yang pertama kalinya menyimpulkan pelajaran sejarah dunia dengan tepat dan menerapkan pelajaran itu secara konsisten. Kesimpulan yang dibuatnya menjadi doktrin dari perjuangan kelas.
Rakyat selalu menjadi korban dari penipuan dan kemunafikan dunia politik, mereka akan selalu begitu sampai mereka mencoba mencari tahu apa kepentingan dari kelas-kelas yang ada dalam masyarakat, apa yangada di balik segala macam ajaran moral, agama dan janji-janji politik. Para pemenang dari proses reformasi dan pembangunan akan selalu terkecoh oleh para pendukung pemerintahan lama, sampai mereka menyadari bahwa setiap lembaga yang lama, sekeji apapun tampaknya, akan tetap dijalankan oleh kekuatan-kekuatan dari kelas-kelas tertentuyang berkuasa. Hanya ada satu kelompok yang mampu menghantam usaha perlawanan dari kelas-kelas itu, dan itu bisa ditemukan dalam masyarakat kita, kelompok yang mampu dan harus menggalang kekuatanuntuk perjuangan menyingkirkan yang lama dan mendirikan yang baru.
Filosofi materialisme yang dipaparkan Marx menunjukkan jalan bagi proletariat untuk bebas dari perbudakan spiritual yang membelenggu setiap kelas yang tertindas hingga kini. Teori ekonomi yang dijabarkan Marx menjelaskan posisi sebenarnya dari proletariat didalam sistem kapitalisme.
Organisasi-organisasi independen milik proletariat semakin bertambah banyak jumlahnya, dari Amerika hingga Jepang, dari Swedia hingga Afrika Selatan. Proletariat menjadi semakin tercerahkan dan terdidik dengan membiayai perjuangannya sendiri. Mereka membuktikan kesalahan tuduhan-tuduhan masyarakat borjuis; mereka terus memperbaiki strategi perjuangan, menggalang kekuatan dan tumbuh tanpa bisa ditahan.
Prosveshcheniye No. 3, Maret 1913.
Ditandatangani V.I. Lenin.
________________________________________
Catatan:
[1] Artikel ini ditulis oleh Lenin untuk memperingati 30 tahun kematian Marx dan dipublikasikan dalam Prosveshcheniye No. 3 tahun 1913. Prosveshcheniye (Pencerahan)—adalah terbitan teoritik bulanan kaum Bolshevik yagn diterbitkan secara legal di St.Petersburg mulai bulan Desember 1911 sampai Juni 1914. Oplahnya mencapai 5000 eksemplar. Lenin memimpin penerbitan ini dari luar negeri, awalnya di Paris, kemudian Cracow dan Poronin; dia mengedit artikel-artikelnya melalui korespondensi yang intense dengan para editor. Pada masa PD I majalah ini dibredel oleh rejim tsar. Kemudian terbit lagi pada musim gugur tahun 1917 tapi hanya sekali terbit.
[2] Referensinya adalah tulisan Engels Anti Duhring
________________________________________
Karya-karya V.I. Lenin | Séksi Bahasa Indonesia M.I.A.
RESUME FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
* Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
* Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
* Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren ( berkaitan ) dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai¬mana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua¬lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan ke¬yakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, feno¬menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula
bagai¬mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be¬serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seped teori ko¬herensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.
Akslologi llmu meliputi nilal-nilal (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke¬nyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Dalam perkembangannya Filsafat llmu juga mengarahkan pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampal pada dimensi ke¬budayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau keman¬faatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan.
Tujuan Filsafat Ilmu :
Sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya seorang-orang ilmuwan harus memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmu yang digelutinya, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipsistic. Solipsistik adalah pola sikap yang mengganggap dirinya paling benar
Usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metiode keilmuan.
Memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Oleh karenannya, setiap metode keilmuan yang dikembangkan harus dapat dipertanggung jawabkan.
Analisis Keilmuan Ilmu Hukum dari Perspektif Filsafat Ilmu
Rusdianto Umar
Abstract
Ilmu hukum sebagai sebuah ilmu pengetahuan telah memiliki konsep-konsep dan asumsi-asumsi yang baginya tidak perlu dipersoalkan lagi. Konsep dari ilmu hukum itu diterima begitu saja tanpa dinilai dan dikritik. Padahal seharusnya tidak demikian. Konsep dan asumsi-asumsi tersebut perlu dinilai dan dijelaskan, tapi tidak dengan ilmu hukum itu sendiri melainkan dengan filsafat ilmu yang memang berperan melakukan uji-kritis terhadap apa yang dihasilkan oleh suatu ilmu dan ilmu itu sendiri. Dari hasil analisis diketahui bahwa sifat keilmuan ilmu hukum semakin kokoh dengan adanya teori kebenaran pragmatis.
* Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
* Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
* Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren ( berkaitan ) dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai¬mana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua¬lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan ke¬yakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, feno¬menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula
bagai¬mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be¬serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seped teori ko¬herensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.
Akslologi llmu meliputi nilal-nilal (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke¬nyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Dalam perkembangannya Filsafat llmu juga mengarahkan pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampal pada dimensi ke¬budayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau keman¬faatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan.
Tujuan Filsafat Ilmu :
Sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya seorang-orang ilmuwan harus memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmu yang digelutinya, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipsistic. Solipsistik adalah pola sikap yang mengganggap dirinya paling benar
Usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metiode keilmuan.
Memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Oleh karenannya, setiap metode keilmuan yang dikembangkan harus dapat dipertanggung jawabkan.
Analisis Keilmuan Ilmu Hukum dari Perspektif Filsafat Ilmu
Rusdianto Umar
Abstract
Ilmu hukum sebagai sebuah ilmu pengetahuan telah memiliki konsep-konsep dan asumsi-asumsi yang baginya tidak perlu dipersoalkan lagi. Konsep dari ilmu hukum itu diterima begitu saja tanpa dinilai dan dikritik. Padahal seharusnya tidak demikian. Konsep dan asumsi-asumsi tersebut perlu dinilai dan dijelaskan, tapi tidak dengan ilmu hukum itu sendiri melainkan dengan filsafat ilmu yang memang berperan melakukan uji-kritis terhadap apa yang dihasilkan oleh suatu ilmu dan ilmu itu sendiri. Dari hasil analisis diketahui bahwa sifat keilmuan ilmu hukum semakin kokoh dengan adanya teori kebenaran pragmatis.
Langganan:
Postingan (Atom)