Senin, 10 Januari 2011

BENTUK KEKUASAAN ORDE LAMA, ORDE LAMA, ERA REFORMASI

PENDAHULUAN
Secara konseptual, komponen-komponen pokok yang ada di dalam pembangunan politik adalah bahwa pemerintah kita harus selalu mampu menanggapi setiap perubahan yang ada dalam masyarakat, sebab suprastruktur dan infrastruktur politik yang ada memang efektif dan berfungsi secara optimal, yang kesemuanya didukung oleh warganegara yang dinamis dan berada dalam naungan persamaan hukum dan perundang-undangan. Pencapaian hal-hal tersebut biasanya selalu akan menimbulkan permasalahan yang menyangkut identitas (jati diri) bangsa, legitimasi kekuasaan, partisipasi anggota masyarakat, serta menyangkut pemerataan hasil-hasil pembangunan melalui sistem yang efektif yang menjangkau keseluruh lapisan masyarakat. Setiap kali kita berhasil mengatasi suatu permasalahan tersebut maka berarti kita “maju” di dalam melakukan pembangunan politik di dalam mengembangkan sistem demokrasi. Sejak awal Indonesia berdiri, kehidupan politik dan hukum diwarnai begitu rupa, tidak dalam pengertian hingar bingarnya demokrasi, tetapi justru secara mencolok dapat dikatakan oleh sentralisasi kekuasaan pada satu tangan, meskipun sebenarnya konstitusi telah memberi peluang yang cukup besar kepada hukum.[1]
Secara umum proses perjalanan bangsa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu, periode Orde Lama dan periode Orde Baru. Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965. Namun sejarah juga menunjukkan rezim Orde Baru yang dianggap memberikan perbaikan dan menyelamatkan keadaan bangsa saat itu selama masa pemerintahannya melakukan pemasungan terhadap hak-hak politik warga negara, pembangunan memang dapat berjalan dengan cukup baik dimana tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan pernah mencapai 7 % (tujuh persen) namun keberhasilan itu hanya bersifat semu karena semua pembangunan dibiayai dari hutang luar negeri yang berakibat timbulnya krisis moneter dan tumbuh sehatnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.[2]
PEMBAHASAN
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.[3]
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.[4]
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.
Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.
Dalam penulisan ini, kami mencoba memberikan penjelasan singkat seputar konfigurasi politik yang dibatasi pada dua era, yakni Orde Lama dan Orde Baru, serta pemahaman terhadap partai politiknya.
ORDE BARU
Latar Belakang
Diskursus mengenai lembaga-lembaga negara di Indonesia selalu menjadi bahasan yang menarik, UUD 1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terjadi selama empat dekade terakhir ini bahkan menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih berat ke lembaga eksekutif. Posisi Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya semakin mendorong kecenderungan ini ke arah yang negatif.
UUD 1945 memberikan wewenang tertentu kepada presiden dalam menjalankan tugas pemerintahan. Namun demikian pemberian wewenang tersebut tidak diikuti dengan batasan-batasan terhadap penggunaannya. Soekarno, mantan presiden RI, dalam rapat pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 adalah “UUD Kilat”, ini dikarenakan mendesaknya keinginan untuk memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu sehingga infrastruktur bagi sebuah negara yang merdeka harus segera disiapkan. Hal ini menyebabkan UUD 1945 menjadi UUD yang singkat dan sangat interpretatif. Upaya politik untuk tidak mengadakan perubahan terhadap UUD 1945, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 sendiri (Pasal 3 juncto Aturan Peralihan, butir 2), juga tidak diikuti oleh upaya lembaga legislatif untuk membuat ketentuan lebih lanjut terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Tidak banyak pasal dalam UUD 1945 yang telah diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya dan pasal-pasal yang mengatur mengenai wewenang presiden sebagai kepala negara merupakan beberapa di antaranya.
Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945, yaitu antara lain tercantum dalam Pasal 10 sampai Pasal 15. Dalam pelaksanaannya, ternyata kekuasaan tersebut telah banyak menimbulkan berbagai masalah yang sampai saat ini masih diwarnai pendapat pro dan kontra seputar penggunaannya. Hal ini dapat disebabkan karena tiga hal. Pertama, besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak diikuti dengan mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan adanya kontrol, misalnya pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan kabinet, wewenang untuk menyatakan perang, dan lain-lain. Kedua, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan sensitivitas dalam tubuh masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya presiden. Ketiga, berkaitan erat dengan yang kedua, sensitivitas ini juga didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dengan sangat cepat dengan dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan pada saat ini.
Diskusi dan kajian tentang negara di Indonesia pada umumnya didominasi oleh pendapat kuat yang beranggapan bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Kepercayaan yang tulus pada hal ideal ini mungkin yang mendasari pendapat-pendapat di atas, yang oleh para pejabat negara ini kemudian diturunkan menjadi jargon-jargon “demi kepentingan umum”, “pembangunan untuk seluruh masyarakat” dan lain sebagainya. Namun pada kenyataan di lapangan, terjadi banyak hal yang tidak membuktikan anggapan ideal tersebut. Negara yang identik dengan kekuasaan, sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, cenderung untuk korup, dalam arti menyimpangi kekuasaanya (abuse of power). Negara ternyata juga memiliki kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sendiri yang terkadang justru merugikan kepentingan umum. Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat dari terpusatnya kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi negatifnya, tampaknya mengharuskan bangsa ini untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan presiden yang sangat besar tesebut. Pandangan negara netral dan paham integralistik, yang biasanya melegitimasi konsep tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di negara ini. Seluruh hal tersebut, ditambah dengan adanya tuntutan demokratisasi di segala bidang yang sudah tidak mungkin ditahan lagi, mengartikan bahwa sudah saatnya kekuasaan presiden yang sangat besar harus dibatasi.
Studi ini ingin menjadi bagian dari diskurus tentang kekuasaan Presiden RI, khususnya kekuasaannya sebagai Kepala Negara. Dalam studi ini dipaparkan dan dianalisis bentuk-bentuk kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara, yang secara normatif didasarkan pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. B. Pokok Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Studi ini dilakukan dengan beberapa permasalahan yang dianggap mendasar bagi pelaksanaan kekuasaan presiden tersebut, yai-tu :
1. Apa saja bentuk kekuasaan presiden RI dalam hukum positif Indonesia serta bagaimana mekanisme pelaksanaannya selama ini?
2. Sistem dan mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mengurangi kecenderungan penyimpangan kekuasaan dari pelaksanaan kekuasaan tersebut?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran tentang konsep-konsep dan dasar hukum kekuasaan presiden RI.
2. Menganalisis secara konseptual mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI yang terdapat dalam hukum poistif di Indonesia.
3. Mengemukakan rekomendasi terhadap makanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI di masa mendatang.
C. Deskripsi Umum Pelaksanaan Kekuasaan Presiden Di Masa Orde Baru
Dalam banyak literatur telah dinyatakan bahwa UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar pada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Ismail Suny membagi kekuasaan Presiden RI berlandaskan UUD 1945 menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan legslatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan darurat. Sedangkan H. M. Ridhwan Indra dan Satya Arinanto membaginya ke dalam; kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan sebagai Kepala Negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan presiden yang luas tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan sekaligus mandataris MPR. Praktek kenegaraan dan politik yang dalam sejarah mendasarkan dirinya pada UUD 1945, ternyata cenderung memanfaatkan secara negatif peluang yang diberikan UUD 1945, yaitu kekuasaan sangat besar yang terpusat pada lembaga kepresidenan. Soekarno menjalankan kekuasaannya dengan menggunakan konsep demokrasi terpimpin. Konsep ini telah terbukti mengandung karakteristik otoritarian yang kental, dengan terpusatnya kekuasaan pemerintahan pada satu orang saja. Orde baru yang niat awal terbentuknya adalah mengoreksi segala wujud penyimpangan yang dilakukan rezim Soekarno, tenyata dalam prakteknya hanya mengubah jargon-jargon yang dikumandangkan pada masa sebelumnya, namun secara substansial sifat otoritariannya tidak berubah. Kalau pada rezim Soekarno model pemerintahan didasarkan pada paham demokrasi terpimpin dan Manipol Usdek, maka di masa pemerintahan Soeharto jargon tersebut dibahasakan dengan paham demokrasi pancasila yang didasarkan cita negara integralistik. Apabila di masa Soekarno legitimasi pemerintahannya didasarkan pada slogan “revolusi”, maka di era Soeharto legitimasinya didasarkan pada slogan “pembangunan” dan “stabilitas politik”. Kedua hal tersebut ditujukan untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat (strong state), yang oleh kedua rezim tersebut dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi berhasilnya suatu pemerintahan.
Mohtar Maso’ed mencatat bahwa latar belakang utama terbentuknya rezim orde baru yang otoritarian adalah trauma konflik politik yang parah, baik horisontal maupun vertikal, dan terpuruknya perekonomian Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno. Untuk itu orde baru memilih untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Secara konstitusional sebagaimana telah dikemukakan di atas, orde baru didukung oleh UUD 1945. Orde baru dan para pendukungnya, terutama Angkatan Darat, kemudian berhasil menempatkan pusat kekuasaan pengambilan keputusan kebijakan publik pada birokrasi yang secara langsung di komandoi oleh Presiden Soeharto. Sekurang-kurangnya ada lima kekuasaan presiden yang tercatat dalam hukum posistif Indonesia, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, serta kekuasaan militer dan darurat. Dalam praktek politik dan ketatanegaraan selama masa orde baru, implementasi dari kekuasaan-kekuasaan tersebut menjadi instrumen yang efektif untuk mengintervensi dan mengeliminasi peranan lembaga-lembaga negara lain dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan eksekutif, merupakan konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensil oleh UUD 1945, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan yang sangat luas ini selama pemerintahan orde baru tidak diterjemahkan lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk yang bersifat lebih operasional, dengan batas-batas tanggung jawab dan kewenangan yang jelas. Ketiadaan batas-batas tersebut menyebabkan Pasal 4 ayat (1) menjadi pegangan utama satu-satunya bagi kekuasaan pemerintahan ini.
Kewenangan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden. Sebagaimana telah disinyalir oleh berbagai pakar dan penelitian, kewenangan ini cenderung mengalami penyimpangan baik secara formil maupun materil, sehingga menjadi salah satu yang signifikan pada saat ini untuk dilakukan pengkajian ulang atas kewenangan pembentukan Keppres yang mandiri oleh presiden, di samping bentuk-bentuk lain dari kekuasaan pemerintahan lainnya.
Kekuasaan sebagai kepala negara oleh beberapa pakar hukum tata negara dikonsepkan secara berbeda-beda. Padmo Wahjono menyatakan kekuasaan presiden sebagai kepala negara secara sempit, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan peraturan perundang-undangan dalam hal pengangkatan-pengangkatan, adalah kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau advis suatu lembaga tinggi legara lainnya. Jadi bukan hak prerogatif yang mandiri. Dalam kenyataannya, selama pemerintahan orde baru, kewenangan yang “hanya” bersifat adminsitratif ini cukup berpengaruh terhadap jalannya praktek politik dan kenegaraan di Indonesia. Pengangkatan hakim-hakim, anggota-anggota MPR dan DPR, serta jabatan-jabatan penting lainnya, merupakan ajang seleksi politik bagi orang-orang yang akan memasuki wilayah kekuasaan negara. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang yang berada di “lingkar luar” kekuasaan sangat sulit untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga-lembaga yang harusnya melakukan fungsi kontrol, tidak dapat bertindak secara optimal bahkan mandul.
Kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif serta kekuasaan militer dan darurat, merupakan tambahan dari kekuasan presiden yang konvensional. Secara konseptual, ketiga kekuasaan yang langsung diberikan oleh UUD 1945 ini tidak dilakukan secara mandiri oleh presiden, namun pada taraf pelaksanaan tampak kekuasaan presiden begitu dominan, terutama dalam bidang pembentukan undang-undang dan dalam kedudukannya sebagai penguasa tertinggi militer. Legitimasi konstitusi saja tampaknya tidak cukup bagi orde baru. Untuk menghindari terulangnya keadaan di masa orde lama, orde baru secara sistematis berusaha memusatkan kekuasaan dengan melemahkan institusi-institusi yang seharusnya dapat menjadi lembaga kontrol yang mengimbangi kekuasaan presiden yang dominan. Institusi-institusi tersebut hampir merupakan seluruh bagian dari sistem kenegaraan di Indonesia. Mulai dari lembaga tertinggi dan tinggi negara, infrastruktur politik, pers, infrastruktur hukum sampai instritusi-institusi yang ada di dalam masyarakat hingga ruang lingkup terkecil, tak lepas dari intervensi kekuasaan. Kedudukan birokrasi yang dominan ini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber kekuasaannya, yaitu kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status sosial yang tinggi. Selama masa kepemimpinan Soeharto, unsur-unsur inilah yang kemudian menjadikan rezim yang dipimpinnya hampir steril dari kontrol lembaga lain, dan justru menjadi dasar bagi fungsi pengendalian atas masyarakat.
Jadi cukup jelas sebenarnya, kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa keberlakuannya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan golongan tertentu yang pragmatis sifatnya dan secara empiris selalu mengorbankan, atau paling tidak mengeliminasi, kepentingan demokratisasi di Indonesia.


A. KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE LAMA
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.[5] Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).[6]
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
(1). Gerakan separatis pada tahun 1957;
(2). Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.[7]
C. PARTAI POLITIK
Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:
1. Sarana komunikasi politik;
2. Sosialisasi politik;
3. Sarana rekruitmen politik;
4. Pengatur konflik. [12]
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai politik berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan.[13] Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara.
Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk: (a) untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya (kolonialisme dan imperialisme); (b) untuk mencerdaskan bangsa Indonesia; (c) untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
a. Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
b. Pemerintahan Negara yang demokratis;
c. Menentukan Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang sesuai dengan nilai-nilai sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing-masing organisasi politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:
a. Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
b. Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian, keberadaan partai politik-partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan umum di Indonesia, antara lain: pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga, untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara. [14]
Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya saling bergantungan dan mengisi.
1. Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.[15]
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai.[16] Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan "Deklarasi Bogor." [17]
2. Partai Politik dalam Era Orde Baru
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.[18]
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya.[19]
Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.
PENUTUP
Dengan melihat keseluruhan materi pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa politik hukum pada era Orde Lama dan Orde Baru memiliki perbedaan. Pada era Orde Lama sejak Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan konstituante lewat rumusan sebuah panitia kecil yang terdiri dari: Djuanda, A.H. Nasution, Moh. Yamin, Ruslan Abdul Gani dan Wirjono Prodjodikoro, beranggapan bahwa dasar hukum dari dekrit ini berdasarkan doktrin staatsnoodrecht dan noodstaatsrechts yaitu hak darurat yang dimiliki penguasa untuk mengeluarkan produk hukum yang menyimpang dari asas perundang-undangan yang baik karena adanya keadaan yang memaksa dan membahayakan keselamatan Negara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta mengingat bahwa lembaga-lembaga Negara sebagaimana digariskan oleh UUD 1945 belum lengkap, maka Presiden Soekarno melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1999 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS);
2. Dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara;
3. Pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960;
4. Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960 sekaligus pemberhentian dengan hormat Dewan Perwakilan Rakyat;
5. Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960.
MPRS yang dibentuk oleh Soekarno kemudian menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No. III Tahun 1963 yang jelas-jelas melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945.
Jatuhnya legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang kekuasaan Negara ditandai oleh peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia hingga berakibat pembunuhan besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia di berbagai daerah serta dikeluarkannya Supersemar yang pada hakekatnya merupakan bentuk penyerahan kekuasaan kepada Soeharto.[20]
Pada era Orde Baru dengan gagalnya Gerakan 30 September 1965 dan turunnya Soekarno dari kekuasaan menimbulkan suatu situasi baru (disebut Orde Baru), semboyan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen banyak dikemukakan pemerintah Orde Baru Pimpinan Soeharto yang lebih mengkonsentrasikan penyelenggaraan sistem pemerintahan dengan menitikberatkan pada aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional.[21] Pada era ini pula mulai memasukkan hak-hak politik warga Negara dan munculnya konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) yang dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1975 yang membatasi organisasi peserta Pemilu, serta memberikan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas sekaligus penyaringan partai politik melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu pada tahun 1971 hingga partai-partai hanya terbagi kedalam golongan partai yang berbasis nasional, spiritual dan karya. Selain itu pemerintahan Orde Baru berusaha menciptakan single majority lewat eksistensi partai Golongan Karya.
B. BENTUK KEKUASAAN ERA REFORMASI
Perubahan ekonomi dan politik pascakejatuhan Soeharto telah berjalan hampir sewindu. Selama itu pula sejumlah kajian akademis tentang masa depan ekonomi-politik Indonesia telah dilakukan.
Namun, upaya itu tampaknya tidak cukup memuaskan dalam memberikan eksplanasi, baik secara empiris maupun teoretis, tentang apa yang terjadi pasca-Soeharto.
Kejatuhan Soeharto di tahun 1998 yang dianggap merupakan momentum awal memasuki era reformasi oleh kebanyakan analis diyakini sebagai motor penggerak yang akan membawa Indonesia menuju demokrasi liberal dan ekonomi yang lebih berorientasi kepada pasar. Model argumentasi semacam ini jelas mengindikasikan kuatnya pengaruh teori transisi menuju demokrasi sebagai perangkat analisis dalam memahami berbagai perubahan ekonomi dan politik di Indonesia pasca-Soeharto.
Masa-masa awal Indonesia pasca-Soeharto—yang ditandai oleh berkembangnya kebebasan sipil dan politik di satu sisi serta berbagai reformasi terbatas ke arah pasar bebas di sisi lain—memang cukup memberikan keyakinan bahwa terwujudnya demokrasi liberal dan ekonomi pasar hanyalah soal waktu.
Meski demikian, bersamaan dengan tahun-tahun reformasi yang terus berjalan, indikasi yang mengarah pada terwujudnya demokrasi liberal dan ekonomi pasar dalam arti yang sesungguhnya tak kunjung menjadi kenyataan, setidaknya sampai dua kali penyelenggaraan pemilu di era reformasi ini. Problematika inilah yang menjadi fokus utama perhatian Vedi R Hadiz dalam kumpulan tulisannya di buku ini.
Ironi reformasi
Salah satu pertimbangan yang melatarbelakangi diterbitkannya kumpulan tulisan ini, sebagaimana diungkapkan oleh Rahadi T Wiratama, editor buku ini, adalah perspektif teoretis yang digunakan dalam mengamati perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto. Berbeda dengan kebanyakan analis yang umumnya mengadopsi bangunan teori transisi menuju demokrasi, Vedi justru menampik model penjelasan semacam itu.
Model penjelasan teori transisi menuju demokrasi yang pada dasarnya merupakan varian dari teori modernisasi dan teori struktural-fungsional umumnya memahami perubahan dengan penekanan yang kuat terhadap peran aktor, sementara perspektif yang digunakan penulis, yang kini berstatus sebagai asisten profesor pada Departemen Sosiologi Universitas Nasional Singapura itu bertumpu pada model analisis yang menekankan pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) serta pentingnya dimensi sejarah. Yang pertama memahami proses politik sebagai fenomen keseimbangan (ekuilibrium), sementara yang kedua memahaminya dari sudut pandang konflik (kontradiksi).
Melalui lensa teoretis semacam itu Vedi berargumen bahwa meski era pasca-Soeharto ditandai oleh liberalisasi politik, kecenderungan semacam itu tidak dengan sendirinya mampu mengubah relasi-relasi kekuasaan politik secara signifikan. Hal ini terutama dapat diamati pada kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini berada di lapisan paling bawah struktur piramida sosial di Indonesia.
Kelompok-kelompok semacam ini yakni buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin kota pada dasarnya tetap sulit untuk mengartikulasikan kepentingannya sekalipun terdapat ruang politik yang relatif lebih terbuka dibandingkan dengan era Soeharto. Pertanyaannya tentu saja adalah mengapa dan bagaimana hal itu dapat terjadi?
Secara ideal dapat diasumsikan bahwa terbukanya ruang politik di era pasca-Soeharto tentunya akan memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan untuk mendesakkan kepentingannya. Namun, asumsi semacam itu terbukti keliru. Fakta memperlihatkan bahwa proses-proses ekonomi-politik yang terjadi umumnya tidak berada pada posisi yang berpihak kepada kelompok-kelompok lapis bawah. Sebaliknya, kelompok-kelompok dominan yang awalnya diperkirakan akan mengalami pukulan telak sebagai akibat gerakan reformasi terbukti tetap memegang kendali atas jalannya kekuasaan ekonomi dan politik.
Dominasi kelompok-kelompok lama dalam proses-proses ekonomi-politik pasca-Soeharto di satu sisi serta lemahnya kelompok-kelompok masyarakat lapis bawah di sisi lain, menurut pengamatan Vedi, merupakan sebuah warisan historis yang akar-akarnya dapat ditelusuri pada periode Orde Baru. Tidak diragukan lagi bahwa pengalaman disorganisasi dan deideologisasi sistematik terhadap berbagai kekuatan masyarakat sipil di bawah kediktatoran Orde Baru yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa itu memiliki konsekuensi politik yang cukup serius. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila berbagai kelompok masyarakat sipil, terutama kalangan masyarakat lapis bawah, tidak terlalu siap dengan agenda-agenda transformatif ketika peluang mulai terbuka bersamaan dengan lengsernya Soeharto dari kekuasaan di tahun 1998.
Sementara itu, gelombang reformasi ternyata juga tidak cukup memiliki kemampuan untuk menyapu bersih kelompok-kelompok dominan ”eks” Orde Baru. Bahkan, kelompok-kelompok ini mampu menyesuaikan diri terhadap logika reformasi. Melalui kerangka kelembagaan baru di era reformasi ini yakni partai politik, pemilu, parlemen, dan desentralisasi pemerintahan kelompok-kelompok dominan dengan cepat melakukan penataan diri kembali dan tetap memiliki akses yang sangat kuat atas proses-proses ekonomi-politik di Indonesia.
Dengan demikian, bentuk-bentuk perubahan kelembagaan politik pasca-Soeharto, yang tampaknya memberikan semacam isyarat yang menandai titik awal untuk mengantarkan Indonesia memasuki gerbang demokrasi yang lebih partisipatif, ternyata bergerak ke arah yang ”lain”. Hingga hari ini, lembaga-lembaga demokrasi hasil reformasi tetap kebal dari kepentingan mayoritas masyarakat lapis bawah sekalipun telah tersedia ruang artikulasi yang relatif lebih terbuka.
Lebih dari itu, kehadiran lembaga-lembaga demokrasi ternyata tidak serta-merta diiringi oleh munculnya praktik politik yang lebih beradab, melainkan telah ditandai oleh merajalelanya praktik politik uang, eksploitasi simbol-simbol identitas melalui jalur etnis dan agama, serta kekerasan dan premanisme. Sementara itu, ”perubahan” di bidang ekonomi pasca-Soeharto juga tidak disertai munculnya rule of law, transparansi, dan akuntabilitas publik sebagaimana layaknya sistem ekonomi pasar bebas melainkan justru menyuburkan praktik KKN gaya baru.
Kesemuanya itu, menurut pengamatan Vedi, ditengarai telah dilakukan oleh pelaku-pelaku lama beserta segelintir sekutu baru mereka yang datang belakangan. Ini berarti bahwa arah perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto sama sekali tidak bergerak ke arah model pasar bebas beserta kembaran alamiahnya: demokrasi liberal.
Dari berbagai gejala yang dapat diamati secara kritis, dapat disimpulkan bahwa perubahan ekonomi-politik di era pasca-Soeharto sesungguhnya hanya terjadi pada tingkat kelembagaan dan bentuk. Partai politik, pemilihan umum, parlemen, dan desentralisasi pemerintahan telah menjadi sarana baru untuk melanggengkan kekuasaan. Kenyataan semacam ini jelas merupakan sebuah ironi yang menyakitkan: lembaga-lembaga demokrasi hasil reformasi itu ternyata tidak berada di tangan kaum reformis, melainkan berada dalam genggaman kelompok-kelompok yang kepentingannya berseberangan dengan cita-cita reformasi.
Meski Vedi mengakui bahwa kekuasaan yang tersentralisasi kini tak lagi menjadi ciri politik di era sekarang ini, hal itu tidak dengan sendirinya merupakan keruntuhan bagi kelompok-kelompok eks rezim Orde Baru. Kelompok yang oleh Vedi dijuluki sebagai ”predator” ini merupakan pewaris utama yang sesungguhnya dari reformasi ekonomi-politik pasca-Soeharto. Perbedaannya dengan era Orde Baru hanyalah terletak pada bentuk kekuasaan yang relatif lebih cair, terbuka, dan terdesentralisasi.
Berjubah demokrasi
Dengan latar fakta-fakta semacam itu, tidak terlalu berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa lembaga-lembaga demokrasi ternyata juga bukan merupakan senjata ampuh untuk mengikis kepentingan ekonomi-politik kelompok-kelompok dominan sebagaimana yang mungkin telanjur diyakini oleh kebanyakan para analis. Sebaliknya, lembaga-lembaga semacam itu justru menjadi instrumen yang cukup efektif meski sedikit mahal dari segi ongkos sosialnya untuk tetap mempertahankan sebuah dominasi kekuasaan ekonomi-politik.
Dengan demikian, iklim politik yang terbuka dan sistem multipartai ternyata bukan sesuatu yang menakutkan bagi kelompok-kelompok dominan. Di masa lalu, saat kaum reformis memperjuangkan soal ini, kelompok-kelompok dominan boleh jadi merasa terancam. Namun, ketika terjadi proses perubahan sebagai akibat jatuhnya Soeharto di tahun 1998, iklim politik yang terbuka dan sistem multipartai justru beralih menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan kelompok-kelompok dominan. Intisari yang ingin disampaikan Vedi dalam berbagai kajiannya tentang perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto adalah bahwa dominasi segelintir orang terhadap mayoritas lainnya ternyata compatible dengan lembaga dan prosedur demokrasi.
Pada sisi lain, keniscayaan akan terjadinya transformasi besar-besaran ekonomi-politik pasca-Soeharto sebagaimana yang dianut oleh para pendukung teori transisi ke arah demokrasi semata-mata hanya karena didasarkan atas gejala perubahan pada tingkat kelembagaan. Ini jelas merupakan kenaifan tersendiri. Para penganut pandangan ini, agaknya, menderita semacam khayalan teknokratik neo-Platonian.
Studi yang dilakukan terhadap perubahan ekonomi-politik pasca-Soeharto dengan jelas memperlihatkan kelemahan perspektif semacam ini. Sebaliknya, pendekatan teoretis yang digunakan Vedi dengan penekanan yang kuat terhadap aspek dinamika kekuatan sosial dan sejarah sebagai basis perangkat analisis setidaknya lebih dapat mengungkap fakta-fakta empiris di balik perubahan kerangka kelembagaan ekonomi-politik pasca-Soeharto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar